Jumat, 08 Oktober 2010

Pohaci Rababu & Dewi Pangrenyep

Skandal Demi Skandal Penyulut Gonjang Ganjing

Di Desa Karang Kamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis, 16 km arah timur kota Ciamis dapat kita temukan suatu cagar budaya yang disebut Cagar Budaya Karang Kamulyan. Di situ dahulu pernah berpusat sebuah kerajaan kuno yang menurut sejarah bernama Kerajaan Galuh.

Di tempat – yang dikabarkan sebagai pusat kerajaan Galuh - itu ditemukan beberapa peninggalan yang antara lain berupa :

  • Batu Pangcalikan, yang diberitakan merupakan bekas singgasana dan tempat bermusyawarah Raja.
  • Penyambungan Ayam, yang diyakini sebagai tempat Ciung Wanara menyabung ayam dengan Bondan Sarati.
  • Sanghyang Bedil
  • Lambang Peribadatan
  • Sumber air Citeguh dan Cirahayu
  • Makam Adipati Panaekan
  • Pamangkonan
  • Batu Panyandaan
  • Patimuan
  • Leuwi Sipatahunan yang disebut-sebut sebagai tempat bayi Ciung Wanara dibuang di Sungai Citanduy.

Pusat kerajaan tersebut, kalau diperhatikan, berada di pertemuan Sungai Citanduy dengan Sungai Cimuntur. Adalah suatu hal yang logis pada zaman itu untuk menjadikan pertemuan sungai sebagai ibukota yang biasanya mempunyai benteng dari alam untuk menghadapi serbuan musuh.

Raja pertama Galuh adalah Wretikandayun (591 M -702 M). Dianggap sebagai raja pertama karena dialah yang menjadikan kerajaan yang disebut Galuh tersebut terlepas dari statusnya sebagai bawahan Kerajaan Sunda di masa Kerajaan Sunda dirajai oleh Tarusbawa[1].

Dari isterinya Candraresmi, Wretikandayun yang dinobatkan tahun 612 M, mempunyai 3 orang anak, yakni Sempakwaja (620 M-729 M), Jantaka (lahir 622) M dan Amara/mandiminyak (624 M-709 M).

Sempakwaja sesungguhnya adalah nama panggilan karena nama kecilnya tidak diketahui. Disebut Sempakwaja karena ia ompong alias tidak bergigi (empak = ompong, waja = gigi). Sedangkan Jantaka menderita hernia yang waktu itu termasuk sejenis penyakit yang belum bisa disembuhkan.

Karena keduanya cacat badan maka baik Sempakwaja maupun Jantaka tidak mungkin menjadi pengganti Wretikandayun. Sempakwaja lalu menjadi rajaresi di Galunggung dengan gelar Batara Danghyang Guru. Sedangkan Jantaka menjadi resiguru di Telaga Denuh (Galuh Selatan) dengan gelar Resiguru Wanayasa atau Rahiyang Kidul [2]. Yang diangkat menjadi putera mahkota adalah Amara / Mandiminyak.

Saat menjadi resiguru di Galunggung, Sempakwaja menikah dengan Pohaci Rababu, seorang wanita yang dikenal berparas cantik. Konon ia berasal dari Gunung Kendan (dekat Rancaekek sekarang)[3].

Suatu saat Mandiminyak atau Amara (624 M-709 M), adik Sempakwaja yang menjadi putera mahkota Galuh, mengadakan pesta perjamuan (utsawakarma) di istana. Yang mengundang adalah ayahnya, Raja Galuh Wretikandayun. Sempakwaja tidak hadir karena sakit namun karena menganggap undangan ayahnya tersebut penting, maka ia diwakili oleh isterinya Pohaci Rababu. Sementara Pohaci Rababu pergi ke Galuh, anak-anak Sempakwaja tinggal di Galunggung merawat ayahnya.

Kehadiran Pohaci Rababu yang cantik di Istana Galuh ternyata menerbitkan masalah. Entah bagaimana kejadiannya namun dikabarkan selama 4 hari terjadilah smarakarya (skandal asmara) antara Pohaci Rababu, yang cantik itu, dengan adik iparnya, Mandiminyak / Amara. Orang yang disebut terakhir ini dalam sejarah dikatakan sebagai laki-laki yang pandai merayu.

Hasil skandal kedua manusia berlainan jenis itu adalah seorang anak laki-laki bernama Sena yang lahir pada tahun 661 M. Kerajaan menjadi kisruh karena peristiwa tersebut namun akhirnya dapat diredam karena Sempakwaja turun tangan. Pohaci Rababu dimaafkan dan boleh kembali ke Galunggung. Sementara si kecil Sena harus dirawat oleh Mandiminyak / Amara sebagai pertanggungjawabannya.

Menurut sejarah, Mandiminyak selanjutnya disingkirkan secara halus dari keraton oleh ayahnya, Wretikandayun. Ia dikawinkan dengan Parwati anak Ratu Sima dengan Kartikeyasinga, raja Kalingga yang berkedudukan di Jawa Tengah. Karena itulah Mandiminyak tinggal di Kalingga.

Dari perkawinan Mandiminyak dengan Parwati ini kelak lahirlah Sanaha[4]. Kelak setelah Sanaha (anak Mandiminyak dengan Parwati) cukup dewasa, Ratu Sima menjodohkannya dengan Sena (anak Mandiminyak dengan Pohaci Rababu). Perkawinan sedarah ini kelak pada tahun 683 melahirkan anak yang bernama Sanjaya (683 M-754 M).

Pada tahun 695 M, Mandiminyak bersama isterinya, Parwati, menjadi penguasa Kalingga Utara. Hal ini terjadi karena setelah Ratu Sima wafat, kerajaan dibagi dua. Sebelah utara (yang disebut Bumi Mataram) diperintah oleh Parwati dan Mandiminyak, yang memerintah sampai tahun 716 M. Sedangkan sebelah selatan dan timur (yang disebut Bumi Sambhara) diperintah oleh Narayana (adik Parwati) yang memerintah sampai tahun 742 M.

Mandiminyak kemudian menggantikan ayahnya, Wretikandayun, yang wafat tahun 702 M, sebagai Raja Galuh. Dengan demikian posisi Mandiminyak semakin kuat. Ia berkuasa atas Kalingga (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan Galuh (Jawa Barat). Dalam posisinya yang kuat itu, tidak berapa lama sekitar tahun 703/704 M, Mandiminyak menjodohkan cucunya, Sanjaya, dengan Sekar Kancana (Teja Kancana Ayupurnawangi), cucu Raja Sunda Tarusbawa yang berkedudukan di Pakuan. Dari perkawinan Sanjaya-Teja Kancana ini kelak lahir anak laki-laki yang dinamakan Tamperan Barmawijaya (704-739 M) [5],[6].

Pada tahun 709 M, Mandiminyak meninggal. Ia digantikan oleh Sena, anaknya dari Pohaci Rababu. Tetapi pengangkatan Sena sebagai raja Galuh tersebut tidak diterima oleh Purbasora, anak Sempakwaja dengan Pohaci Rababu. Purbasora bersiap melakukan penyerangan namun rencana itu rupanya diketahui oleh Sena.

Sena pun alu mengundang tentara Sunda untuk membantunya menghadapi Purbasora. Namun justru Purbasoralah yang kini mengetahui rencana itu. Dengan dukungan pasukan pimpinan Ki Balagantrang (sepupunya) beserta pasukan dari Kuningan, Purbasora dengan cepat menduduki Galuh pada tahun 716 M. Dalam situasi yang kalut seperti itu, Sena berhasil meloloskan diri ke Jawa Tengah, di mana ibunya Parwati menjadi raja di Kalingga Utara (Bumi Mataram).

Tahun 723 Tarusbawa wafat dalam usia 91 tahun. Ia digantikan oleh Sanjaya dan Teja Kancana. Sedangkan Anggada (adik sepupu Teja Kancana), cucu Tarusbawa dari anaknya yang bernama Mayangsari, menjadi Patih Sunda menggantikan ayahnya Wangsa Nagara.

Pada tahun 723 M Sanjaya yang kini mempunyai kekuasaan besar itu bersiap menyerbu Galuh yang dianggap telah merebut kekuasaan ayahnya, Sena. Persiapan itu dilakukan Sanjaya di Gunung Sawal sekitar 17 km dari Galuh.

Setelah semuanya siap, Sanjaya dan pasukannya menyerbu Galuh. Purbasora tewas sementara Balagantrang dapat meloloskan diri dan kemudian bersembunyi di Geger Sunten (Kampung Sodong Desa Tambaksari Kecamatan Rancah, Ciamis). Pada tahun itu pula Sanjaya menghancurkan Indraprahasta (isteri Purbasora. berasal dari sini). Karena menguasai Galuh itulah maka kini Sanjaya secara otomatis berhasil menyatukan Kalingga, Sunda dan Galuh.

Berdasarkan permufakatan dengan para sesepuh Galuh yang masih hidup untuk mencari solusi damai, Sanjaya ditetapkan untuk tidak memerintah Galuh secara langsung. Sanjaya menyetujui usul Sempakwaja yang mengangkat Premana Dikusuma, anak Wijayakusuma dan cucu Purbasora, sebagai raja Galuh. Premana Dikusuma – yang suka bertapa dengan gelar Ajar Sukaresi atau Bagawat Sajala-jala – lalu dikawinkan dengan Dewi Pangrenyep (704 M-739 M), anak patih Anggada. Dewi Pangrenyep ini adalah isteri kedua Premana Dikusuma. Sedangkan isteri pertamanya bernama Dewi Naganingrum (cucu Balagantrang yang lahir 698 M) yang darinya pada tahun 718 M dilahirkan Manarah.

Karena tidak langsung memerintah di Galuh, Sanjaya menempatkan anaknya, Tamperan Barmawijaya (704 M-739 M), sebagai duta di negeri itu. Pada tahun 723 M itu pula Demunawan, adik Purbasora, dinobatkan menjadi Raja Saung Galah di Kuningan.

Rasanya persoalan, yang menimbulkan korban jiwa dalam tempo yang lama itu, telah selesai sehingga kehidupan negara diharapkan menjadi damai. Namun ternyata tidak demikian. Kedamaian hanya berlangsung dalam bilangan bulan saja. Pada tahun 723 M itu pula terjadi skandal cinta antara Dewi Pangrenyep (isteri kedua Premana Dikusuma) dengan Tamperan (anak Sanjaya). Sebagai hasil gejolak asmara yang gelap ini maka pada tahun 724 lahirlah Kamarasa atau Banga[7].

Karena skandal itu, negeri Galuh geger kembali. Untuk meredam keributan, Sanjaya lalu mengungsikan Tamperan Barmawijaya untuk sementara ke Pakuan, ibukota kerajaan Sunda. Usaha tersebut ternyata berhasil karena untuk kurun waktu yang cukup lama negeri Galuh menjadi aman.

Selanjutnya pada tahun 731 Sanjaya kembali ke Mataram karena mendapat kabar bahwa ayahnya, Sena, akan turun tahta. Tahun itu pula Sanjaya mendapat kepastian bahwa Premana Dikusuma tetap ingin tinggal di pertapaan.

Tahun 732 M Sena baru benar-benar turun tahta. Kedudukan Sena di Kalingga diganti oleh Sanjaya sedangkan Tamperan Barmawijaya menggantikan Sanjaya di Jawa Barat dengan mengambil kedudukan di Galuh. Dengan demikian Tamperan pada usia 28 tahun telah menjadi penguasa Sunda-Galuh, yang wilayahnya meliputi seluruh Jawa Barat ditambah sedikit bagian barat Jawa Tengah.

Saat menjadi penguasa Sunda-Galuh, Tamperan Barmawijaya belum mempunyai permaisuri walaupun sudah mempunyai anak berusia 9 tahun hasil selingkuhnya dengan Pangrenyep. Sebenarnya ia ingin menjadikan Pangrenyep sebagai permaisuri namun adat atau hukum yang berlaku tidak mengizinkannya. Itu terjadi karena Pangrenyep masih berstatus sebagai isteri Premana Dikusuma.

Menghadapi situasi yang dianggapnya rumit ini, rupanya nafsu lebih dominan daripada akal. Dan itu terjadi pada Tamperan yang tidak mau berpikir njlimet. Ia menyelesaikan persoalan ini dengan cara menyuruh orang untuk membunuh Premana Dikusuma. Selanjutnya orang yang berhasil membunuh Premana Dikusuma tersebut dibunuh oleh pengikut-pengikut Tamperan.

Setelah Premana Dikusuma tewas, sekitar tahun 732 M, Tamperan lantas memperisteri Pangrenyep dan Naganingrum sekaligus. Pangrenyep menjadi permaisuri sedangkan Naganingrum menjadi selir. Manarah, anak Premana Dikusuma dengan Naganingrum yang saat itu berusia 14 tahun, diperlakukan sebagai anak oleh Tamperan.

Sementara itu Balagantrang yang pada tahun 723 M lolos dari serbuan Sanjaya telah menyusun kekuatan untuk merebut kembali tahta Galuh. Persiapan itu dilakukannya di Geger Sunten. Pelahan-pelahan ia mencari dukungan, termasuk membujuk Manarah dan banyak sekutu lainnya.

Tujuh tahun setelah kematian Premana Dikusuma, yaitu tahun 739 M, Balagantrang dan Manarah beserta pasukannya menyerbu Galuh. Karena tidak mengira dan tidak siap maka Tamperan dan Pangrenyep tertangkap dan dipenjarakan. Banga – anak Tamperan dengan Pangrenyep - tidak ditangkap dan diperlakukan dengan baik oleh Manarah. Bagaimana pun juga Banga adalah saudara satu ibunya.

Nampaknya Banga tidak tega melihat ayah dan ibunya dipenjara. Maka pada suatu saat dengan caranya sendiri, ia berhasil membebaskan kedua orang tuanya. Tamperan dan Pangrenyep kemudian lari namun kemudian tewas saat dikejar pasukan Manarah dan Balagantrang.

Sanjaya yang mendengar bahwa anaknya mengalami kesusahan, mengirim pasukan ke Galuh. Terjadilah perang namun Demunawan – sesepuh Sanjaya, Manarah dan Balagantrang yang sangat dihormati- berhasil mendamaikan semua pihak yang bertikai. Musyawarah segera dilakukan lagi dan hasilnya adalah kesepakatan berupa pembagian wilayah. Manarah (739-783 M) memerintah Galuh, Banga memerintah Sunda dan Demunawan menguasai kerajaan Saung Galah dan bekas kerajaan Galunggung (sampai dengan 774 M).

Pelajaran yang patut disimak dalam cerita - yang diwarnai perpaduan antara ambisi kekuasaan dan aroma skandal cinta atau seks - ini antara lain adalah:

  • Gara-gara skandal Pohaci Rababu tahun 661 M yang berselingkuh dengan adik suaminya, maka perseteruan antar sesama saudara mulai mencuat dan mencapai puncaknya tahun 716 M saat terjadi perebutan kekuasaan oleh Purbasora (anak Pohaci dengan Sempakwaja) terhadap Sena (anak Pohaci dengan Mandiminyak). Pihak yang diserang – dalam hal ini Sena - kemudian membalas yang mengakibatkan Purbasora tewas pada tahun 723.
  • Keadaan aman sebentar namun skandal terjadi lagi tahun 723. Dewi Pangrenyep – isteri kedua Premana Dikusuma (cucu Purbasora) - berselingkuh dengan Tamperan Barmawijaya (cicit Mandiminyak). Terjadilah serangkaian keributan yang mengakibatkan pertumpahan darah yang baru berhasil didamaikan pada tahun 739 M

Referensi :

  • Tim Penulis Sejarah, 1984. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat. Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat, Pemda Propinsi DT I Jawa Barat
  • Dinas Pariwisata Ciamis, 2003. Wisata Ciamis.



[1] Sang Kandiawan – ayah dari Wretikandayun - adalah bawahan Kerajaan Sunda yang menjadi raja di Negeri Kendan, 597-612 M. Negeri Kendan diberitakan berlokasi di sekitar Nagrek, dekat Bandung. Ayah Sang Kandiawan bernama Sang Suraliman yang menjadi raja di Kendan periode tahun 568-597 M, menggantikan ayahnya, Sang Resiguru Manikmaya (memerintah Kendan 536 M - 568 M). Wretikandayun, Raja pertama Galuh, menyatakan lepas dari Kerajaan Sunda dan memindahkan pusat kerajaan dari Kendan ke Galuh (Tim Penulis Sejarah, 1984).

[2] Jantaka yang menjadi resiguru di Telaga Denuh (Galuh Selatan) dengan gelar Resiguru Wanayasa atau Rahiyang Kidul menikah dan dikaruniai seorang anak yang bernama Ki Balagantrang / Sang Bimaraksa (Tim Penulis Sejarah, 1984)

[3] Pertemuan Pohaci Rababu dengan Sempakwaja dimulai saat Pohaci Rababu, perawan dusun yang tinggal tidak jauh dari pertapaan Sempakwaja sedang mandi di Telaga Candana bersama dua kawan wanitanya. Sempakwaja yang sedang berburu melihat mereka. Dengan isengnya ia menyembunyikan salah satu pakaian mereka. Secara kebetulan yang disembunyikan itu milik Pohaci Rababu. Singkat kata, berjodohlah mereka dan dari hasil perkawinan mereka itu lahirlah dua anak yaitu Purbasora (643 M-723 M) dan Demunawan (646 M- M). Purbasora di kemudian hari kawin dengan Citra Kirana, anak Resi Padmahariwangsa, raja Indrasprata di kawasan Cirebon (707-719 M). Anak sulung Purbasora bernama Wijayakusuma. Sementara adik Purbasora yang bernama Demunawan pada tahun 671 M kawin dengan Sangkari, anak dari Sang Pandawa / Wiragati, raja Kuningan (Tim Penulis Sejarah, 1984).

[4] Tahun 674 M ayah Parwati meninggal dunia dan digantikan oleh ibu Parwati sebagai Ratu Kalingga (674 M-695 M) dengan sebutan Ratu Sima yang bergelar Sri Maharani Mahissasuramardini Satyaputikeswara (Tim Penulis Sejarah, 1984).

[5] Ayah Teja Kancana adalah putera mahkota yang wafat sebelum menjadi raja. Teja Kancana kemudian diangkat sebagai anak oleh Raja Tarusbawa (Tim Penulis Sejarah, 1984).

[6] Sanjaya juga dikawinkan dengan anak perempuan Dewasinga yang bernama Sudiwara. Dewasinga adalah anak Narayana /Iswara, penguasa Bumi Sambhara (695-742 M). Sedangkan Narayana adalah adik Parwati (nenek Sanjaya). Baik Parwati maupun Narayana adalah anak dari Ratu Sima. Sudiwara sendiri adalah adik dari Gajayana yang memerintah Bumi Sambhara tahun 760-789 M. Jadi baik Sanjaya maupun Sudiwara adalah sama-sama cicit dari Ratu Sima. Anak hasil perkawinan Sanjaya-Sudiwara bernama Rakai Panangkaran yang dilahirkan tahun 717 M

[7] Dewi Pangrenyep (704 M-739 M), isteri kedua Permana Dikusuma, adalah cicit dari Raja Tarusbawa. Ia adalah anak Patih Anggada (cucu Tarusbawa). Sementara itu Tamperan Barmawijaya adalah cicit Mandiminyak dan anak dari Sanjaya dari isterinya yang bernama Tejakancana. Karena Tejakancana adalah cucu Maharaja Tarusbawa maka Tamperan Barmawijaya adalah cicit Tarusbawa. Mungkin kejalangan buyutnya (Mandiminyak) itu menurun pada Tamperan) (Tim Penulis Sejarah, 1984).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar