Minggu, 10 Juli 2011

Skandal Perempuan Batavia 1629-1639



Peristiwa ini terjadi saat kota Jakarta masih bernama Batavia. Waktu itu wilayah kota Batavia tidak begitu luas. Kota lama ini dahulu dikelilingi tembok dan parit. Luasnya dari daerah sekitar Menara Syahbandar di Pasar Ikan hingga Jl. Asemka - Jl. Jembatan Batu sekarang. Rencana kota Batavia tersebut dirancang oleh Simon Stevin atas permintaan dewan pemerintah VOC di Belanda (1618).

Jan Pieterzoon Coen – sebagai penguasa VOC di Batavia waktu itu - menginginkan agar Batavia menjadi ibukota kerajaan bisnis raksasa Belanda dari Tanjung Harapan (Afrika Selatan) sampai Jepang.

Coen juga memerintahkan untuk membangun galangan kapal dan rumah sakit, berbagai rumah penginapan dan toko (di Pulau Ontrust), dua buah gereja (di dalam dan di luar benteng) dan sebuah sekolah (tidak jelas lokasinya)[1].

Pada tahun 1629 di Batavia, tersebutlah kisah seorang wanita bernama Sara Specx yang baru berusia 13 tahun. Ia adalah anak perempuan tidak syah Jacques Specx, anggota Dewan Hindia, dengan seorang wanita Jepang. Karena ayahnya pergi ke Negeri Belanda, Sara dititipkan kepada Coen dan dianggap sebagai anggota keluarga sendiri.

Gadis ingusan itu rupanya berpacaran dengan Pieter J Cortenhoeff., 17 tahun, seorang calon perwira muda. Saking tidak kuatnya menahan asmara, kedua sejoli itu menyogok pengawal di kediaman Coen sehingga bisa dengan bebas berpacaran di rumah penguasa VOC itu. Permainan gelap mereka akhirnya ketahuan. Coen merasa mukanya tercoreng dan akhirnya kasus tersebut dibawa ke pengadilan yang kemudian memutuskan mereka harus dihukum.

Vonis pengadilan sungguh berat. Si lelaki dihukum pancung sedangkan si gadis dihukum dera. Grasi diajukan kepada Coen, tetapi ia menolak walaupun pendeta telah menasehatinya agar keduanya diampuni. Dan demikianlah maka pada tahun 1629 itu pula Pieter dipancung sedangkan Sara didera badannya dalam keadaan setengah telanjang di pintu masuk utama Balaikota Batavia[2].

Untuk kedua kalinya, pasukan Mataram menyerbu Batavia pada tahun 1629 namun gagal. Di tengah peperangan, Coen meninggal 20 September 1629, karena sakit[3]. Untuk menggantikannya, VOC di Belanda mengangkat Jaqcues Specx, ayah Sara Specx. Jacques Specx tiba di Batavia sebagai Gubernur Jenderal (1629-1632)[4]. Mungkin hatinya menangis campur geram karena puterinya telah tiada. Ia menolak ikut serta dalam kebaktian di gereja bersama para hakim yang mengadili puterinya. Bahkan sejumlah pendeta yang membela para hakim disingkirkan olehnya ke sebuah kapal di pelabuhan Sunda Kelapa.

Itulah sebuah skandal yang sempat mencuat saat kota Batavia masih relatif muda. Masih ada beberapa skandal lain di Batavia pada periode berikutnya. Pada tahun 1639, misalnya, Catrina Casembroot – janda pedagang Batavia Nicolaer Casembroot - dan teman-temannya yang berdarah Asia dituduh melakukan zinah dengan beberapa orang laki-laki. Baik selama suaminya masih hidup maupun setelah matinya.

Skandal berikutnya adalah saat Lucia de Coenja, perempuan India isteri Anthonij de Coenja yang merupakan kawan Catrina, dituduh berbuat zina. Skandal lainnya adalah ketika Annika da Silvaseorang, wanita pribumi isteri Leendert Jacobs (serdadu VOC), dituduh berzina dengan beberapa laki-laki saat suaminya masih hidup. Ia juga dituduh berusaha meracuni suaminya. Keputusan pengadilan waktu itu adalah menghukum Catrina dengan cara dibenamkan dalam tong berisi air. Sementara tiga perempuan lainnya diikat pada tiang dan dicekik sampai mati. Wajah mereka dicap dan harta bendanya disita.

Pelajaran yang dapat ditarik dari skandal-skandal di Batavia ini di antaranya adalah :

· Pelacuran yang dilakukan oleh wanita tidak mengenal suku dan bangsa. Pelacuran akan terjadi selama ada pria dan wanita yang saling membutuhkan.

· Ada suatu masa di mana hukuman atas perbuatan pelacuran dan perzinahan dilakukan dengan sangat berat (hukuman mati) yang saat ini mungkin tidak terjadi lagi.

Sumber :

· Alwi Shahab, 2002, Robinhood Betawi, Republika, Jakarta

· Leonard Blusse, dalam Alwi Shahab, 2002, Robinhood Betawi, Republika, Jakarta

· BAPPEDA DKI Jakarta, 2001. Out Batavia.

· Slamet Mulyana, 1980. Dari Holotan ke Jayakarta. Yayasan Idayu, Jakarta.




[1] BAPPEDA DKI Jakarta, 2001.

[2] Balaikota Batavia, yang didirikan tahun 1620, masih kecil dan hanya bertahan beberapa tahun. Balaikota yang lebih besar – bertingkat dua - dibangun pada periode kemudian dan diresmikan oleh Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck (1653-1713) pada tahun 1710 walaupun baru selesai tahun 1712. Balaikota yang disebut terakhir tersebut kini masih ada, bernama Museum Sejarah (BAPPEDA DKI Jakarta, 2001)

[3] Tanggal 8 September 1629, tentara Mataram mulai mengalir ke dalam kota Jayakarta mendekati benteng-benteng VOC. Mereka menggali parit sebelum menyerang. Malam hari tidur di parit siang hari menyerbu benteng. Tanggal 20 September 1629, JP Coen tewas (tidak diketahui karena apa). Ia dikebumikan di Stadhuis (Museum Kota di belakang BNI’46). Tanggal 21 September 1629, tentara Mataram menyerbu. Demikian pula tanggal 29 September 1629, tentara Mataram menyerbu lagi dengan dahsyat tetapi tak berhasil (Slamet Mulyana, 1980).

[4] Sepeninggal Coen (tahun 1629), perkembangan kota makin pesat di bawah Gubernur Jendral Jacques Specx. Kali Besar yang semula berkelok dibuat lempang sehingga menjadi parit lurus yang menerobos kota. Kastil atau benteng (tempat kediaman dan kantor pejabat tinggi pemerintah VOC) diperkuat dengan menempatkan meriam dan tentara di keempat kubunya (BAPPEDA DKI Jakarta, 2001).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar