Kamis, 21 Juli 2011

Rabu Kaba

Drama Pelarian Sang Janda Jelita

Indonesia yang terkenal sangat heterogen dalam budaya menyimpan banyak sejarah dan legenda. Salah satu legenda yang cukup terkenal berasal dari Pulau Sumba, yang saat ini termasuk dalam wilayah Provinsi Nusa TenggaraTimur.

Dalam hikayat orang Waiwuang di Sumba Barat, alkisah ada tiga bersaudara yang menjadi pemimpin mereka. Nama-nama ketiga orang itu adalah Ngongo Tau Masusu, Yagi Waikareri dan Umbu Dula.

Suatu saat mereka bertiga memberitahu warga Waiwuang bahwa mereka hendak melaut. Tapi nyatanya mereka pergi ke selatan pantai Sumba Timur untuk mengambil padi. Di sanalah mereka bekerja tanpa kenal lelah untuk mendapatkan padi sebanyak mungkin yang akan mereka bawa pulang ke desanya.

Karena lama tak kunjung tiba maka warga yang ditinggalkan menjadi cemas. Mereka mencari ke mana-mana. Karena tidak ketemu juga, warga Waiwuang merasa yakin bahwa tiga bersaudara pemimpin mereka itu telah tiada. Mereka pun lalu mengadakan perkabungan, berbelasungkawa atas kepergian dan kematian para pemimpin mereka.

Dalam suasana kedukaan itu, janda cantik jelita `almarhum' Umbu Dulla yang bernama Rabu Kaba jatuh cinta pada Teda Gaiparona, seorang pemuda tampan asal Kampung Kodi. Mereka lalu terjerat dalam asmara dan saling berjanji menjadi kekasih.

Namun adat tidak menghendaki perkawinan mereka. Karena itu sepasang anak manusia yang tak mampu memendam rindu asmara ini nekat melakukan kawin lari. Rabu Kaba lalu diboyong Teda Gaiparona ke kampung halamannya.

Sementara itu ternyata ketiga pemimpin warga Waiwuang kembali pulang ke kampung. Warga Waiwuang menyambutnya dengan penuh sukacita karena mereka pulang dengan selamat. Namun mendung tak dapat dibendung tatkala Umbu Dulla bertanya tentang isterinya.

"Yang mulia, Sri Ratu telah dilarikan Teda Gaiparona ke Kampung Kodi," jawab warga Waiwulang pilu. Umbu Dulla yang marah lalu mengerahkan warga Waiwulang untuk mencari dua sejoli yang sedang mabuk kepayang itu. Keduanya ditemukan di kaki gunung Bodu Hula.

Walaupun berhasil ditemukan, namun Rabu Kaba, yang telah meneguk madu asmara bersama Teda Gaiparona, tidak ingin kembali. Ia meminta pertanggungjawaban Teda Gaiparona untuk mengganti belis (mahar) yang diterima dari keluarga Umbu Dulla. Teda Gaiparona menyanggupi membayar belis pengganti. Setelah seluruh belis dilunasi, pasangan Rabu Kaba dengan Teda Gaiparona melakukan upacara perkawinan.

Pada akhir pesta pernikahan, Teda Gaiparona berpesan kepada warga Waiwuang agar mengadakan pesta nyale dalam wujud pasola untuk melupakan kesedihan mereka karena kehilangan janda cantik Rabu Kaba. Atas dasar hikayat ini, setiap tahun warga kampung Waiwuang, Kodi dan Wanokaka Sumba Barat mengadakan bulan (wula) nyale dan pesta pasola.

Pasola yang tertanam dalam budaya masyarakat Sumba Barat menjadikan pasola tidak sekadar keramaian manusia tetapi telah menjadi satu bentuk ketaatan massal kepada leluhur. Pasola adalah perintah para leluhur untuk dijadikan ritual penduduk pemeluk Marapu.

Karena itulah pasola pada pengertian yang pertama merupakan kultus religius yang mengungkapkan inti religiositas agama Marapu. Hal ini sangat jelas terlihat pada pelaksanaan pasola di mana pasola diawali dengan doa semedi dan lakutapa (puasa) para rato, foturolog dan pemimpin religius dari setiap kabisu terutama yang terlibat dalam pasola.

Sebulan sebelum pelaksanaan pasola, sudah diumumkan bulan pentahiran bagi setiap warga Paraingu. Pada saat pelaksanaan pasola, darah yang tercucur sangat berkhasiat untuk kesuburan tanah dan kesuksesan panenan. Bila terjadi kematian yang disebabkan oleh permainan pasola, hal itu dipandang sebagai bukti pelanggaran atas norma adat yang berlaku, termasuk bulan pentahiran menjelang pasola.

Pada pengertian yang kedua, pasola merupakan suatu bentuk penyelesaian krisis suku melalui `bellum pacificum' perang damai dalam permainan pasola. Peristiwa minggatnya janda Rabu Kaba dari Keluarga Waiwuang ke keluarga Kodi dan beralih status dari isteri Umbu Dulla menjadi isteri Teda Gaiparona bukanlah peristiwa nikmat. Tetapi peristiwa yang sangat menyakitkan bagi keluarga Waiwuang dan terutama Umbu Dulla yang punya isteri.

Keluarga Waiwuang sudah pasti berang besar dan siap melumat habis keluarga Kodi terutama Teda Gaiparona. Keluarga Kodi sudah menyadari bencana itu. Lalu mencari jalan penyelesaian dengan menjadikan seremoni nyale yang langsung berpautan dengan inti penyembahan kepada arwah leluhur untuk memohon doa restu bagi kesuburan dan kesuksesan panen, sebagai keramaian bersama untuk melupakan kesedihan karena ditinggalkan Rabu Kaba.

Pada pengertian yang ketiga, pasola menjadi perekat jalinan persaudaraan antara dua kelompok yang turut dalam pasola dan bagi masyarakat umum. Permainan jenis apa pun termasuk pasola selalu menjadi sarana sosial yang ampuh. Apalagi bagi kedua kabisu yang terlibat secara langsung dalam pasola.

Selama pasola berlangsung, semua peserta, kelompok pendukung dan penonton diajak untuk tertawa bersama, bergembira bersama dan bersorak-sorai bersama sambil menyaksikan ketangkasan para pemain dan ringkik pekikan gadis-gadis pendukung kubu masing-masing. Karena itulah pasola menjadi terminal keseharian penduduk serta tempat menjalin persahabatan dan persaudaraan.

Sebagai sebuah pentas budaya, hampir dapat dipastikan bahwa pasola mempunyai pesona daya tarik yang sangat memukau. Oleh karena itu pemerintah, terutama pemerintah daerah, turut mendukung dengan menjadikan pasola sebagai salah satu `major event' budaya dan wisata daerah Sumba Barat.

Hikmah yang dapat ditarik dari cerita tradisional Sumba Barat ini antara lain adalah :

· Suatu hal yang di luar kesengajaan menyebabkan seorang janda yang ditinggal pergi suaminya dan dikiranya mati menjadikannya jatuh hati pada pria lain. Mereka melarikan diri untuk kawin karena adat tidak membolehkan sementara dendam rindu mereka sudah demikian menghebat.

· Akhirnya dengan adat, pelanggaran atas adat dapat diselesaikan dan kedua orang yang jatuh cinta itu hidup selamanya

Referensi :

· www sumbabarat go id, 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar