Rabu, 06 Juli 2011

Pramodhawardhani

PILIH ADIK ATAUKAH SUAMI?

Hampir semua orang di Indonesia, apalagi yang tinggal di Provinsi Jawa Tengah, kenal dengan Candi Borobudur, walaupun mungkin belum pernah mengunjunginya. Sebagai candi besar, yang dianggap sebagai salah satu dari 8 keajaiban dunia ini, boleh dikatakan telah mengangkat pamor Indonesia di mata internasional sebagai bangsa yang memiliki budaya tinggi.

Ada asap tentu ada apinya. Demikian pula ada bangunan tentu ada yang membangunnya. Lantas siapakah yang bersusah-payah membangun Candi Borobudur itu?

Menurut catatan sejarah, peresmian candi Borobudur terjadi sekitar tahun 824 M. Pembangunannya entah dimulai tahun kapan namun sejarah mencatat bahwa pendirinya adalah Raja Samaratungga, pengganti Raja Indra, dari Dinasti Syailendra [1],[2],[3], [4].

Lantas siapakah Pramodhawardhani ? Pramodhawardhani, menurut catatan sejarah, adalah anak perempuan dari raja yang membangun Candi Borobudur tersebut. Pramodhawardhani di kemudian hari menggantikan ayahnya sebagai raja dengan gelar Sri Kahulunan dan selama memerintah, raja perempuan ini ditemani suaminya, Rakai Pikatan, turunan Raja Sanjaya dari Kerajaan Kalingga[5].

Pramodhawardhani dan Rakai Pikatan, sebagai suami-isteri yang dikabarkan berbeda agama, diberitakan banyak mendirikan bangunan suci. Rakai Pikatan mendirikan bangunan Hindu sedangkan Pramodhawardhani /Sri Kahulunan mendirikan bangunan Budha. Menurut 2 buah prasastinya, Sri Kahulunan / Pramodawardani – pada tahun 842 - meresmikan pemberian tanah dan sawah untuk kelangsungan pemeliharaan Kamulan (bangunan suci untuk memuliakan nenek moyang) di Bhumi Sambhara[6].

Kamulan yang dimaksudkan tersebut mungkin adalah Candi Borobudur. Sementara itu Rakai Pikatan mungkin sekali mengusahakan pembangunan Candi Loro Jonggrang di dekat Prambanan[7].

Dalam masa pemerintahan Pramodhawardhani dan suaminya itu, timbullah pemberontakan pada tahun 856 M yang dipimpin oleh Balaputra, adik Pramodhawardhani dari lain ibu. Pemberontakan tersebut dapat digagalkan. Kemungkinan Balaputra bersama keluarga dan pengikutnya – setelah kegagalan itu - sempat bertahan di bukit Ratu Boko namun akhirnya terpaksa hijrah ke Swarnadwipa. Di Swarnadwipa, pada periode sesudah itu, ia berhasil menduduki Sriwijaya[8].

Rakai Pikatan turun tahta tahun 856 dan digantikan oleh Rakai Kayuwangi / Dyah Lokapala, yang memerintah sampai dengan 886 [9]. Tidak diketahui dengan jelas apakah Rakai Pikatan turun tahta karena mangkat atau karena sebab lainnya. Tidak diketahui pula kapan isterinya, Pramodhawardhani, meninggal.

Hikmah yang dapat diambil dari riwayat Pramodhawardhani tersebut di atas adalah :

· Pramodhawardhani kawin dengan laki-laki yang berbeda agama namun bersama-sama suaminya ia mampu membangun bangunan-bangunan suci sesuai dengan agamanya masing-masing.

· Dalam masa hidupnya, Pramodhawardhani sempat menghadapi adik tirinya yang hendak merebut kekuasaan dari suaminya. Adiknya mungkin beranggapan bahwa kerajaan Syailendra telah musnah karena sesuai azas patrilineal, maka tahta Pramodhawardani – begitu menikah dengan Rakai Pikatan- secara otomatis menjadi milik Rakai Pikatan. Itulah salah satu kemungkinan penyebab mengapa Balaputra memberontak. Rupanya ia berharap tahta Wangsa Syailendra tetap murni berada pada keturunan Syailendra. Kemungkinan penyebab lainnya adalah perlakuan Rakai Pikatan atau mungkin pula sikap Pramodhawardhani sendiri yang kurang pas terhadap Balaputra dan keluarga Syailendra lainnya sehingga mereka memberontak. Di sinilah Pramodhawardhani diuji untuk menentukan sikapnya, apakah membela suaminya ataukah adiknya. Rupanya ia tidak membela adiknya.

Referensi :

· Soekmono, 1993. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia II. Penerbit Kanisius, Jakarta.



[1] Mengenai asal-usul Dinasti Syailendra dapat dilihat pada prasasti berbahasa Melayu Kuno yang ditemukan di desa Sojomerto, Pekalongan. Di situ disebutkan bahwa pada abad 8 ada seorang raja bernama Dapunta Syailendra. Ayahnya bernama Santanu. Ibunya bernama Bharawati sedangkan isterinya bernama Sampula. Syailendra dapat pula diartikan sebagai raja gunung (Soekmono, 1993)

[2] Dalam Prasasti Klurak (Prambanan), yang diresmikan tahun 782, dinyatakan bahwa raja Indra (bergelar Sri Sanggramadananjaya) membangun bangunan suci dan arca Manjusri yang dalam dirinya mengandung Budha, Dharma dan Sanggha yang sama pula dengan Brahma, Wisnu dan Maheswara. Namun demikian tidak ada kepastian mengenai bangunan mana yang didirikan oleh raja tersebut. Mungkin sekali candi Siwa, yang berlokasi tidak jauh di utara Prambanan (Soekmono, 1993)

[3] Raja Samaratungga - pengganti Raja Indra, menurut Prasasti Karang Tengah yang ditemukan dekat Temanggung - pada tahun 824 mendirikan bangunan suci Wenuwana (Candi Ngawen) di sebelah barat Muntilan. Tanah di sekitar bangunan dibebaskan dari pajak sehingga disebut daerah perdikan. Dengan status bebas pajak tersebut maka penghasilan desa dapat dipakai untuk memelihara bangunan suci. Pembebasan pajak atas daerah tersebut dilakukan oleh Rakarayan Patapan Pu Palar atau Rakai/Rake Garung. Raja ini kemudian digantikan oleh Rakai Pikatan dari keluarga Sanjaya (Soekmono, 1993).

[4] Dalam Prasasti Kalasan – ditulis dalam bahasa Sansekerta berhuruf pranagari- yang diresmikan pada tahun 778, dinyatakan bahwa Raja Panangkaran (Tejahpurnapana Panangkarana atau Karyana Panang- karana), atas permintaan para gurunya, membangun bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah biara untuk para pendeta. Raja Panangkaran / Rakai Panangkaran – pengganti Sanjaya- juga menghadiahkan Desa Kalasan – timur laut Yogya- kepada para sanggha (Soekmono, 1993).

[5] Pemerintahan Dinasti Sanjaya (beragama Syiwa) berlangsung terus sejak tahun 732 M di samping Dinasti Syailendra (beragama Budha). Melihat fakta bahwa candi-candi pada abad 8 dan 9 yang ada di Jawa Tengah bagian utara bersifat Hindu sedangkan di Jawa Tengah bagian Selatan bersifat Budha, maka kekuasaan Dinasti Sanjaya diperkirakan berada di bagian utara sedangkan kekuasaan Dinasti Syailendra berada di bagian Selatan Jawa Tengah. Pada pertengahan abad kesembilan kedua dinasti tersebut bersatu melalui perkawinan Rakai Pikatan dengan Pramodawardani (Soekmono, 1993).

[6] Soekmono, 1993

[7] Dalam sebuah prasasti tahun 856 yang dikeluarkan oleh Dyah Lokapala / Rakai Kayuwangi, segera setelah Rakai Pikatan turun dari tahta, terdapat uraian mengenai kelompok candi agama Siwa yang sesuai benar dengan keadaan kelompok Candi Lorojonggrang. Demikian pula dalam Kitab Ramayana, yang diperkirakan dihimpun pada abad 9, terdapat uraian serupa. Nama Rakai Pikatan terdapat pada salah satu candi kelompok tersebut. Sementara itu di Candi Plaosan Lor (Budha) banyak ditemukan prasasti pendek. Di antaranya ada yang menyebut Sri Kahulunan dan Rake Pikatan. Kemungkinan besar candi tersebut didirikan di masa pemerintahan Sri Kahulunan (Soekmono, 1993).

[8] Dalam prasasti Nalanda (India) yang dibuat tahun 860, dituliskan silsilah Balaputra sebagai upaya untuk melegitimasikan kekuasaannya. Masalah agama juga dipakai oleh Balaputra untuk memperkuat kedudukannya di Sriwijaya dalam menghadapi Mataram yang beragama Hindu Syiwa. Setelah berkuasa di Sriwijaya, Balaputra berusaha menjalin persahabatan dengan kerajaan-kerajaan agama Budha yang kuat. Salah satunya dengan Raja Pala yang berkuasa di Benggala, India (Soekmono, 1993)

[9] Dalam beberapa prasastinya, Rakai Kayuwangi menggunakan sebutan Sri Maharaja dan gelar Abhiseka (penobatan raja) Sri Sajjanotsawatungga. Sebutan pertama menunjukkan kebesaran raja yang kini menjadi penguasa satu-satunya. Akhiran tungga (puncak, ujung) menunjukkan bahwa sang raja berdarah Syailendra. Rakai Kayuwangi/Dyah Lokapala pada tahun 856 mengeluarkan prasasti yang menguraikan tentang sebuah kelompok candi Siwa yang sesuai benar dengan keadaan kelompok Candi Prambanan.

Rake Gurunwangi /Rakai Watuhumalang menggantikan Rake Kayuwangi (856-886). Rakai Watuhumalang ini memerintah sampai dengan 898 M dan untuk selanjutnya digantikan oleh Balitung dengan gelar Sri Maharaja Rake Watukura Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambhu (sampai dengan tahun 910). Kemungkinan wilayah kerajaannya sampai dengan Jawa Timur (Soekmono, 1993)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar