Sabtu, 09 Juli 2011

Ken Dedes


Sang Betis Kemilau

Singasari adalah kota kecil yang terletak sekitar 10-15 km di utara kota Malang. Kalau ke Malang dari arah Surabaya melalui jalan umum yang sekarang ini ada, tentu akan melewati kota ini.

Di kota Singasari itu terdapat banyak peninggalan kuno yang disepakati banyak pakar sejarah sebagai bekas-bekas pusat kerajaan Singasari, sebuah kerajaan yang dikenal pernah mengirim ekspedisi ke kerajaan Melayu di Sumatera untuk menghadapi ekspansi kekaisaran Mongol.

Berbicara tentang Kerajaan Singasari yang masa hidupnya berlangsung antara tahun 1222 sampai dengan 1292 M, rasanya tidak lengkap kalau tidak mengupas sosok wanita yang namanya tercatat dalam sejarah dan melegenda sampai saat ini, yaitu Ken Dedes.

Ken Dedes adalah seorang wanita yang konon sangat cantik. Disebutkan dalam kisah bahwa ia dilahirkan di sebuah desa di Polowijen Malang (sekarang ini) sebagai anak dari Mpu Purwa, seorang pendeta Budha.

Entah bagaimana jalan ceritanya, Ken Dedes – saat ayahnya tidak berada di rumah - dibawa lari oleh Tunggul Ametung, yang saat itu menjadi Akuwu (penguasa daerah) di Tumapel. Mungkin Tunggul Ametung – yang menjadi bawahan Kerajaan Kediri- tahu kalau di situ ada gadis cantik sehingga ia menyuruh anak buahnya untuk menculiknya. Atau mungkin dia sendiri yang datang lalu membawa lari perempuan itu.

Marah setelah mengetahui anak gadisnya dibawa lari, Mpu Purwa mengutuk si pembawa lari sementara anaknya didoakan menjadi orang besar. Demikianlah kisah yang melatarbelakangi keberadaan Ken Dedes sebagai isteri Tunggul Ametung, tanpa disebut-sebut apakah pada akhirnya Ken Dedes mencintai penculiknya ataukah sebaliknya. Yang jelas, perkawinan mereka berdua membuahkan anak yang bernama Anusapati.

Lantas tersebutlah kisah lain dengan lokasi yang masih berada di seputar Malang. Di sana ada seorang perempuan yang bernama Ken Endok – berasal dari Desa Pangkur di lereng Gunung Kawi - yang sedang mengandung. Karena miskin atau mungkin karena sebab lain, bayi laki-laki yang dilahirkannya dibuang di sebuah makam. Bayi itu ditemukan oleh seorang pencuri bernama Lembong (ada yang mengatakan bahwa ia penjudi yang bernama Bango Samparan). Bayi tersebut kemudian diberi nama Ken Angrok atau Ken Arok.

Di lingkungan orang tua seperti itulah Ken Angrok pelahan-lahan tumbuh dewasa. Jadi wajarlah jika Ken Angrok kemudian menjadi anak berandal yang kegemarannya berjudi, mencuri dan sejenisnya. Saking berandalnya, suatu saat akibat kalah berjudi dan uang taruhan kurang, bapaknya terpaksa menjadi budak untuk membayar hutang judi Ken Angrok[1].

Menurut beberapa cerita sejarah, setelah dipelihara Bango Samparan yang tinggal di Desa Karuman (diperkirakan di wilayah Tlogomas, Kota Malang), Ken Angrok pernah ikut Mpu Palot, seorang pandai emas, di Turyantapada (mungkin Turen sekarang). Kemudian ia memperdalam ilmu membuat emas pada pendeta di Kabalon (sebelah timur Kelurahan Madyopuro, Kota Malang). Di masa remajanya itu, Ken Arok diberitakan pernah membuat keributan di desa Tugaran (sekarang Tegaron/ Lesanpuro di Kota Malang).

Entah bagaimana ceritanya, karena sudah menjadi takdirnya, pemuda yang bernama Ken Arok itu kemudian ditemukan oleh pendeta Hindu yang bernama Lohgawe. Setelah dilihatnya bahwa Ken Arok memiliki bakat besar, Lohgawe lalu mengantarkannya ke Tumapel untuk mengabdi pada Akuwu Tunggul Ametung[2].

Karena koneksi Lohgawe yang kemungkinan sangat dihormati oleh Tunggul Ametung, singkat cerita Ken Angrok lalu diterima sebagai pengawal istana. Tugasnya menjaga pintu istana. Saat tugas di situlah ia sering bertemu dengan Ken Dedes yang menjadi isteri Akuwu Tunggul Ametung.

Suatu hari seperti sediakala, Ken Angrok sedang duduk berjaga di pintu gerbang. Pada suatu saat datanglah kereta dan ketika berhenti, Ken Dedes turun dari kereta tersebit. Saat sebelah kaki wanita cantik ini sudah di atas injakan kereta dan kakinya yang lain masih di lantai kereta, kain yang dipakainya sedikit tersingkap. Walaupun sekejap namun cukup jelas bagi mata si Angrok, yang piawai dalam mencuri, untuk menangkap suatu pemandangan yang aneh. Di balik kain itu, yang bersumber pada pangkal selangkang, mata Ken Angrok menangkap nyala yang sangat menyilaukan.

Ken Arok terkesiap dan bingung melihat penampakan itu. Karena penasaran penasaran, di malam hari ia mendatangi Lohgawe dan menceritakan apa yang dilihatnya. Ken Angrok menanyakan apa artinya. Sang Brahmana menjelaskan bahwa nyala itu ialah sinarnya sakti. Dan yang dinamakan sakti, yaitu kekuatan atau kekuasaan di atas kodrat, yang merupakan sumber pancaran kejayaan dan keagungan.

Penjelasan ini membuat Ken Arok, yang memang ditakdirkan berambisi besar untuk berkuasa, menjadi bergairah untuk menguasai kekuasan itu. Mungkin sejak itulah Ken Arok bermaksud membunuh Tunggul Ametung agar dapat mengawini Ken Dedes. Dengan cara seperti itu ia berharap agar kekuasaan sekaligus wanita cantik dapat diraihnya.

Untuk mencapai tujuan itu ia lalu menemui Mpu Gandring, akhli pembuat keris, yang tinggal di Lulumbang. Ken Arok minta dibuatkan keris yang sakti. Mpu Gandring menyanggupi untuk membuatnya dalam tempo 1 tahun.

Puas dengan janji itu, Ken Arok lalu balik kembali ke Tumapel dan bekerja seperti biasa. Sementara itu dengan mengerahkan segenap kemampuannya, Mpu Gandring dengan khusuk membuat keris sakti tersebut.

Rupanya nafsu sudah sampai ke ubun-ubun Ken Arok. Ia tidak sabar menunggu. Lima bulan kemudian Ken Angrok datang menjumpai Mpu Gandring. Ketika melihat keris belum jadi, Ken Angrok yang sudah tidak sabar lagi ini lalu membunuh Mpu Gandring dengan menggunakan keris yang masih belum selesai itu. Mpu Gandring tewas namun sesaat sebelum tiba ajalnya ia mengeluarkan kutukan bahwa Ken Arok dan 4 orang lainnya akan terbunuh oleh keris itu.

Ken Arok lalu balik kembali ke Tumapel dan kemudian menyusun siasat. Keris (buatan) Mpu Gandring itu sengaja dititipkan kepada seorang temannya, Kebo Hijo, yang juga menjadi pengawal istana Tumapel. Karena keris itu dipakai olehnya, maka orang beranggapan bahwa Kebo Hijo memiliki keris baru.

Suatu saat yang dirasanya tepat, Ken Angrok meminjam keris itu. Dengan keris itulah ia kemudian berhasil membunuh Tunggul Ametung. Secara sengaja keris itu dibiarkan tetap tertancap pada mayat korban.

Ketika mengetahui bahwa Tunggul Ametung tewas, gemparlah istana. Mereka menuduh bahwa Kebo Hijolah yang membunuh Tunggul Ametung. Dengan sigap Ken Angrok memanfaatkan situasi ini. Kebo Hijo lalu dibunuhnya dengan keris yang sama.

Peristiwa tersebut di atas diperkirakan terjadi tahun 1200 M. Yaitu saat kandungan Ken Dedes baru berusia 3 bulan (Catatan : Diperkirakan baru pada tahun 1207 Ken Dedes mengetahui bahwa pembunuh Tunggul Ametung yang sebenarnya adalah Ken Angrok).

Ken Angrok tidak hanya kemudian mengawini Ken Dedes setelah Anusapati – anak dari Ken Dedes dengan Tunggul Ametung – lahir. Ken Angrokpun menjadi penguasa Tumapel sejak 1200 M.

Dari perkawinannya dengan Ken Dedes, Ken Angrok beroleh anak yang diberi nama Mahisa Wong Ateleng. Sedang dari Ken Umang, isterinya yang lain, Ken Angrok mempunyai anak yang di antaranya bernama Panji Tohjaya, Panji Sudhatu, Panji Wregola dan Dewi Rambi.[3], [4]

Ken Angrok tidak mau tanggung-tanggung. Ia bekerja cepat. Daerah kerajaan Janggala, di timur Gunung Kawi, diserbu dan direbutnya. Janggala ini dahulunya merupakan separoh bagian dari wilayah kerajaan Airlangga, di samping Panjalu, yang meliputi kawasan sepanjang pesisir utara dari Surabaya ke Pasuruan. Juga daerah-daerah di sebelah timur kawasan Janggala menjadi sasaran ekspansi Angrok.

Ketika itu ketidakpuasan terhadap Raja Kediri – penguasa wilayah Janggala - memang sedang marak. Para brahmana bertentangan tajam dengan Sri Kertajaya (Raja Kediri periode tahun 1200-1222). Ken Angrok yang tahu keadaan ini, dengan cerdik memanfaatkannya. Oleh sebab itu banyak brahmana yang melarikan diri dari Kediri, mencari perlindungan kepada Ken Angrok di Tumapel[5].

Lama kelamaan Raja Kediri risih juga. Dengan alasan bahwa Ken Angrok melindungi kaum pemberontak maka tentara Kediri datang menyerbunya. Pertempuran demi pertempuran terjadi dan akhirnya tahun 1222 Ken Arok berhasil mengalahkan Sri Kertajaya dan tentaranya dalam suatu pertempuran yang hebat di daerah Ganter (dekat Pujon). Karena keberhasilan ini, Ken Angrok lalu mentasbihkan dirinya menjadi Raja Singasari yang membawahi Kediri. Gelar yang dipilihnya adalah Sri Rajasa Bathara Sang Amurwabhumi.

Tercapailah cita-cita Ken Angrok untuk menjadi penguasa dan sekaligus beristerikan perempuan cantik. Namun itu tidak lama. Anusapati – anak Ken Dedes dengan Tunggul Ametung – yang telah beranjak dewasa akhirnya mengetahui bahwa ayah kandungnya telah dibunuh oleh Ken Angrok. Dendam mungkin sudah dipendamnya agak lama namun tentu saja ia mencari cara dan waktu yang tepat untuk bisa menuntut hutang nyawa itu.

Akhirnya tahun 1227, Anusapati - yang saat itu diperkirakan berusia 27 tahun - berhasil membunuh Ken Angrok, juga dengan keris buatan Empu Gandring. Ken Angrok lalu dikebumikan di Kagenengan (sebelah selatan Singasari) dalam bangunan suci Siwa dan Budha. Tidak diceritakan tentang bagaimana sikap Ken Dedes setelah mengetahui bahwa anaknya dari Tunggul Ametung menjadi pelaku atau dalang pembunuhan Ken Arok, suaminya yang kedua. Juga tidak diketahui apakah Ken Dedes mencintai Ken Angrok ataukah tidak.

Anusapati kemudian menjadi raja dengan periode waktu yang cukup lama, yaitu 20 tahun. Tidak ada berita mengenai bagaimana pemerintahan berlangsung selama pemerintahannya.

Tahun 1247, Anusapati dibunuh oleh Panji Tohjaya, anak Ken Angrok dari Ken Umang. Anusapati dikebumikan di Candi Kidal (sebelah tenggara Kota Malang).

Pemerintahan Panji Tohjaya hanya beberapa bulan saja. Pada tahun 1248 ia dikudeta oleh Ranggawuni/Panji Seminingrat (anak Anusapati) yang berkolaborasi dengan Mahisa Campaka (anak Mahisa Wong Ateleng), Panji Pati-pati dan Lembu Ampal. Tohjaya berhasil lolos dari kepungan mereka namun kemudian meninggal di Katang Lumbang akibat luka-luka yang dideritanya.

Ranggawuni - raja Singasari pertama yang namanya diabadikan di prasasti - menggantikan Tohjaya menjadi raja Singasari (1248-1268) dengan gelar Jayawisnuwardhana. Selama pemerintahan nya, dengan bijaksana ia mencoba menyelesaikan perebutan tahta antar keturunan Ken Angrok-Ken Dedes-Tunggul Ametung. Pada tahun 1250 dikabarkan perselisihan keluarga tersebut berhasil diselesaikan.

Dalam pemerintahannya, Ranggawuni (yang juga bergelar Mapanji Smingrat) dibantu oleh saudara sepupunya yang bernama Mahisa Campaka (anak Mahisa Wongateleng). Dalam hal ini Mahisa Campaka menduduki jabatan sebagai Ratu Angabhaya dengan gelar Narasinghamurti.

Selama masa pemerintahannya pula, Ranggawuni berhasil membangun sebuah benteng pertahanan di Canggu Lor (kelak di jaman Majapahit kota ini berkembang menjadi pelabuhan penting)[6],[7]

Ranggawuni memerintah selama kurang lebih 20 tahun. Tahun 1268 Ranggawuni meninggal dalam keadaan normal (tidak dibunuh) dan dikebumikan sebagai Siwa di Waleri dan sebagai Budha Amoghapasa di Jajaghu (Candi Jago). Ia digantikan oleh anaknya yang bernama Kertanegara (1268-1292).

Kertanegara termasuk sosok penguasa yang terkenal. Selain merombak susunan pemerintahan, yang menyebabkan timbulnya banyak pejabat yang tidak puas, ia pun belakukan ekspansi ke luar Jawa (antaralain ke Melayu/Jambi). Kemungkinan besar semua itu dilakukan sebagai upaya untuk menghadapi tentara Mongol memang sedang menyerbu Asia Tenggara. Namun saying, Kertanegara justru tewas padatahun 1292 oleh besannya sendiri, Raja Kediri Jayakatwang. Sekitar tahun itu pula balatentara Mongol menyerbu Jawa yang mengakibatkan raja Kediri tersebut juga tewas.

Dengan tewasnya Kertanegara maka habislah Kerajaan Singasari. Namun penerus keluarga hasil perkawinan Ken Dedes-Tunggul Ametung dan Ken Dedes-Ken Angrok masih tetap ada dan bahkan menjadi cikal bakal terbentuknya kerajaan baru yang lebih besar dari Singasari. Ia adalah Raden Wijaya, menantu Kertanegara dan sekaligus anak dari cicit Ken Dedes, yang dikenal sebagai pendiri Kerajaan Majapahit.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari kisah Ken Dedes (baik yang ada data sejarah maupun legendanya) di antaranya adalah :
· Ken Dedes, sebagai perempuan cantik, tidak berdaya saat dilarikan dari desanya oleh penguasa untuk dijadikan isteri. Ia juga tidak berdaya setelah mengetahui bahwa suami keduanya adalah pembunuh suami pertamanya.
· Ken Dedes memang wanita luar biasa karena menjadi lantaran lahirnya raja-raja dari sejak zaman Singasari sampai sekarang. Seperti diketahui Majapahit adalah keturunan Singasari, sedangkan kerajaan-kerajaan Demak, Pajang, Mataram, Yogyakarta dan Surakarta adalah keturunan Majapahit pula.
· Perselisihan antar keluarga diakhiri saat Ranggawuni (cucu Ken Dedes dari Anusapati) kawin dengan Waninghiun (cucu Ken Dedes dari Mahisa Wongateleng).
Referensi :
· Tim Penulis Sejarah, 1981. Sejarah Nasional Indonesia I untuk SMA. Depdikbud Jakarta
· www.info-indo.com, 2003
· Soekmono, 1993. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia II. Penerbit Kanisius, Jakarta

· Tim Penulis Sejarah, 1984. Sejarah Jawa Barat. Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Bandung.

· Edhie Setiawan, 1989. Penelusuran Sejarah Sumenep Kuno : Makalah Dalam Seminar Sehari Hari Jadi Sumenep

· Sugeng HR, 1993. Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap Indonesia-Dunia. CV Aneka Ilmu Semarang, Indonesia

· Suwardono dan Supiyati, 1996. Monografi Sejarah Kota Malang. Sigma media, Singosari. Malang.



[1] Berita tentang kejahatan pencuri yang bernama Ken Angrok ini tersebar juga di wilayah Tumapel. Atas dasar itu Tunggul Ametung memerintahkan untuk menangkap sang pencuri. Suatu ketika sang pencuri dikejar orang-orang Tumapel dan saat hendak ditangkap di pinggir kali, Ken Arok terpaksa berhenti. Sejurus termangu namun tiba-tiba saja ia mendapat akal. Di pinggir kali itu ada sebatang pohon siwalan atau tal. Tanpa berpikir lebih jauh ia segera memanjat pohon itu sampai ke ujungnya. Ia lalu duduk di salah satu pelepah daun. Ketika orang-orang yang mengejarnya tiba di situ, mereka mengepung pohon sambil berseru-seru menyuruh si berandal turun dan menyerah. Salah seorang dari mereka segera memanjat pohon itu. Melihat ada orang yangnaik pohon ini, si berandal lalu mengepit dua pelepah daun tal di kedua belah tangannya. Selagi orang di bawah pohon sibuk bertanya-tanya di hati masing-masing tentang apa yang akan terjadi, si berandal dengan bersayap daun tal telah melayang terbang ke daratan di seberang sungai.

[2] Menurut legenda, dewa-dewa di Suralaya sangat sayang kepada Ken Angrok. Mereka berunding, mencari jalan bagaimana bisa menyelamatkan si berandal. Dalam persidangan para dewa tersebut sang berandal ini menjadi rebutan ketiga dewa Trimurti. Semuanya mengaku sebagai dewa yang paling berhak atas pemuda berandal yang berani dan panjang akal itu. Dewa Brahma dan Dewa Syiwa saling mengaku sebagai ayahnya. Sedangkan Dewa Wisnu mengaku, bahwa pada tubuh berandal itulah ia menemukan tempat awatara atau titisannya yang terbaru. Namun kelak saat si berandal (Ken Angrok) sudah menjadi Raja Singasari, ternyata ia lebih cenderung pada Syiwa. Oleh karena itulah Ken Angrok memilih nama Girindrawangsaja (keluarga yang lahir dari Girindra) sebagai nama dinastinya. Girindra adalah nama lain dari Syiwa.

Selanjutnya sidang para dewa memutuskan di antaranya adalah Wisnu bertugas mengirim seorang Brahmana bernama Lohgawe untuk pergi ke Tanah Jawa. Tugas Lohgawe adalah memerintahkan Ken Angrok untuk berhenti menyamun dan mengantarnya menghamba pada Adipati / Akuwu Tunggul Ametung. Ketika Ken Angrok dibawa menghadap, Sang Adipati tidak mengenal bahwa dia inilah tokoh berandal yang menjadi pergunjingan rakyat di Tumapel dan Kediri itu

[3] Tim Penulis Sejarah, 1981.

[4] Sugeng HR, 1993

[5] Kertajaya memerintah Kadiri/Kediri (1200-1222 M) dengan menggu- nakan lencana Garudamukha. Ia menggantikan raja Srngga (Sri Maharaja Sri Sarwweswara Triwikrama-wataranindita Srnggalancana Digwijayottunggadewa) (1190-1200 M) .

[6] Diceritakan bahwa Ranggawuni dan Mahisa Campaka sedemikian rukunnya sehingga mereka diibaratkan seperti Wisnu dan Indra. Ranggawuni juga kawin dengan Waninghiun (saudara Mahisa Campaka dan anak Mahisa Wong Ateleng) (Edhie Setiawan, 1989)

[7] Mahisa Campaka adalah besan Darmasiksa (Raja Sunda) karena anak Mahisa Campaka yang bernama Dyah Lembu Tal diperisteri oleh Rakeyan Jayadarma (putera mahkota / anak raja Sunda Darmasiksa yang meninggal sebelum sempat menjadi raja). Dari perkawinan mereka lahirlah Raden Wijaya yang kemudian menjadi menantu Raja Singasari Kertanegara. Raden Wijaya inilah yang menjadi pendiri Kerajaan Majapahit. Dalam babad Tanah Jawa, Raden Wijaya disebut Raden Susuruh (Tim Penulis Sejarah, 1984)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Pararaton itu ceritanya ngawur Dedes Arok Tunggul Ametung Umang keboijo Gandring Mpu Purwa itu nggak ada di dalam prasasti mula malurung yang diterbitkan oleh Wisnuwardhana dan Kertanegara yang hanya bisa membuktikan keberadaan sejarah mereka jadi Arab dan deskripsinya pengarangnya pararaton aja dan di Prasasti mula malurung tidak disebutkan kalau dia itu mantan Penyamun atau dia meninggal dibunuh oleh anusapati

Posting Komentar