Minggu, 10 Juli 2011

Cornelia

Bara Api Perkawinan Bisnis

Ada kisah tentang seorang perempuan, berayah Belanda beribu Jepang, yang tinggal di Batavia semasa VOC berkuasa. Kisah itu cukup menarik. Ia, yang ditinggal mati suaminya, kemudian kawin untuk kedua kalinya dengan seorang akhli hukum.


Kisahnya mungkin tidak menarik kalau hanya sekadar cerita tentang perkawinan seorang janda. Menjadi menarik karena hampir 15 tahun sepanjang perkawinan keduanya, sang perempuan hidup dalam situasi “api dalam sekam” dengan suaminya, yang dianggap banyak orang hanya menginginkan hartanya saja.


Terjadi tuntut-menuntut, gugat-menggugat, pisah-rujuk di antara keduanya yang tidak kunjung selesai. Karena pengadilan Batavia tidak sanggup menyelesaikan urusan yang melelahkan itu, maka kasusnya kemudian disidangkan di Negeri Belanda.


Cerita ini bermula dari seorang Belanda pegawai VOC bernama Cornelis van Nijenroode, yang lahir di Delft, Belanda tahun 1607. Ia adalah orang VOC generasi pertama seangkatan dengan Jan Pieterzoon Coen. Ia dikenal cakap namun sombong dan berlidah serta berpena tajam.


Van Nijenroode tiba di Hindia Belanda (Indonesia sekarang ini) sebagai akhli intan dengan menumpang kapal Delft milik VOC. Antara tahun 1610 dan 1622, walaupun markas VOC ada di Batavia, hampir terus menerus ia berada di Siam atau di sekitarnya. Dua tahun pertama tinggal di ibukota Siam, Ayutthnya. Setelah itu selama 3 tahun tinggal di kota pelabuhan Pattani dan dua tahun berikutnya tinggal di Sangora (sekarang Sonkhla). Tahun 1617 ia tinggal di Ayutthnya dan bertugas sebagai kepala pusat perdagangan sampai tahun 1622. Pada tahun itu pula ia sempat ditugaskan sebentar ke Cina dalam sebuah misi dagang VOC yang ternyata gagal.


Tahun 1623 sebagai saudagar kepala dan komandan skadron kapal VOC, ia sedang berada di Jepang. Di kota Hirado, Jepang, pada saat itu sudah ada perwakilan VOC yang dipimpin oleh Leonard Campa. Sewaktu Van Nijenroode sedang bersiap hendak berlayar ke Cina, November 1623, Leonard Campa meninggal sehingga Van Nijenroode mau tidak mau harus menggantikannya.


Karena misi dagang VOC ke Cina sebelumnya dianggap gagal, maka tahun 1624 Martinus Sonck, komandan VOC di Kepulauan Penghu, dekat Jepang, mengerahkan pasukannya untuk menduduki Formosa (Taiwan) yang sebetulnya adalah milik Cina. Untuk memperkuat pertahanan VOC di sana, Martinus lalu membangun sebuah benteng. Tetapi sayang dalam usaha untuk meringankan biaya, Martinus memungut pajak atas kapal-kapal asing termasuk atas pedagang-pedagang Jepang. Walaupun Martinus sempat diperingatkan oleh Van Nijenroode namun nasehat itu tidak digubrisnya.


Tindakan Martinus tersebut menyebabkan kemarahan. Tahun 1628 pedagang-pedagang Jepang menyandera gubernur VOC setempat, Pieter Nuyts, dan beberapa sandera lainnya. Akhirnya, setelah berlangsung negosiasi, Pieter Nuyts dilepas namun beberapa sandera lain dibawa ke Jepang oleh para pedagang Jepang. Para pedagang itu melapor kepada Shogun tentang kejadian tersebut dan Shogun lalu menahan orang-orang VOC yang sedang berlayar di perairan Jepang.

Sementara itu, mungkin karena telah dikenal baik oleh Jepang, Van Nijenroode dan stafnya yang tinggal di Hirado sebagai aparat VOC tidak diapa-apakan oleh pemerintah Jepang walaupun gudang-gudangnya disegel. Van Nijenroode sempat menulis surat kepada atasannya di Batavia agar ia diizinkan mengundurkan diri. Namun rupanya hal ini tidak mungkin dapat dilakukan dalam kondisi Jepang sedang mengisolasi mereka. Oleh karena itulah, mau tidak mau, Van Nijenroode tetap harus tinggal. Di sinilah ia lalu berfungsi sebagai perantara antara VOC dengan Jepang. Untungnya tahun 1632 konflik Jepang-VOC dapat diselesaikan setelah Pieter Nuytts datang ke Jepang.


Selama konflik Jepang-VOC berlangsung itu, Van Nijenroode, yang kesepian, mengawini wanita Jepang. Tidak hanya satu saja tetapi dua orang wanita ia kawini, yakni Takeshio dan Surishia. Masing-masing wanita itu melahirkan seorang anak untuk Van Nijenroode yang diberi nama Hester dan Cornelia.


Selama di Jepang dalam kurun waktu yang lama itu pula, rupanya Van Nijenroode, yang melakukan bisnis di luar kepentingan VOC, suka minum dan bersenang-senang sehingga saat konflik Jepang-VOC menjelang usai, tahun 1631, Van Nijenroode sakit. Dalam keadaan sakit yang makin parah itu ia menulis testamen. Namun sayang Van Nijenroode meninggal tanggal 31 Januari 1633, saat para sandera VOC dibebaskan oleh Jepang dan bisa pulang. Saat itu semua barang Nijenroode sudah dikemasi, siap untuk dibawa ke Batavia.


Oleh atasannya di Batavia, Van Nijenroode dianggap korupsi karena melakukan bisnis di luar kepentingan VOC. Ia pun dianggap melanggar tabiat saleh karena kawin dengan wanita lokal selama berada di Jepang. Hartanya yang dikirim pulang ke Batavia diambil alih VOC. Sementara itu setelah melalui berbagai kesulitan akhirnya kedua anaknya, Hester dan Cornelia, pada tahun 1637 berhasil dibawa ke Batavia. Kepulangan anak-anak itu didasarkan testamen ayahnya dan itu baru dapat dilakukan setelah VOC menunaikan wasiat Van Nijenroode untuk memberi sejumlah uanga kepada kedua jandanya.


Hester dan Cornelia kemudian dimasukkan dalam rumah yatim-piatu di Batavia. Tidak banyak diketahui mengenai kehidupan masa kecil dan gadis mereka. Yang diketahui adalah Hester kawin dua kali. Yang pertama dengan letnan Inggris Michael Tresoir, 8 Maret 1644, yang tak menghasilkan anak. Sang suami membuat testamen 8 Maret 1655 namun masih hidup sampai tahun 1659. Hester diberitakan kawin lagi dengan Abelis Benting dan dikaruniai anak laki-laki, Johan.


Sementara itu tahun 1652, Cornelia, adik Hester, kawin dengan saudagar kaya Pieter Cnoll, asal Delft. Pieter Cnoll pertama kali mendarat di Batavia tahun 1647. Ia bekerja sebagai asisten muda dengan gaji 18 guilder. Karena etos kerja dan kecerdasannya, tak lama kemudian ia ditempatkan di bawah Anggota Dewan Hindia Willem Verstegen yang bertanggung jawab dalam pembukuan harta VOC di Batavia. Tahun 1651, gajinya meningkat menjadi 30 guilder. Pada tahun 1652 ia dinaikkan pangkat lagi menjadi saudagar muda dengan gaji 45 guilder.


Dari perkawinannya dengan Pieter Cnoll, tahun 1653 Cornelia melahirkan anak perempuan. Setelah itu sampai tahun 1670, Cornelia melahirkan 10 orang anak Cnoll. Mereka adalah Catharina, Jacob, Pieter, Cornelis, Hester, Johannes,Anna, Martha, Maria dan Elisabeth Catharina

Cornelia dan Cnoll hidup bahagia dan sangat berkecukupan karena karier Pieter Cnoll terus meningkat. Tahun 1657 Pieter Cnoll diangkat menjadi kasir dengan jaminan khusus atas tanah miliknya. Pada 12 Juni 1662 untuk sementara ia menggantikan Balthazar Bort selama ia tidak aktif sebagai pimpinan ekspedisi ke Cina dengan wewenang sebagai saudagar kepala kedua. Pada 16 Juli 1663 ia dinaikkan lagi pangkatnya menjadi saudagara kepala kesatu di Batavia. Gajinya menjadi 120 guilder dan kekuasaan memegang kendali atas uang yang keluar masuk markas besar VOC.


Di kala prestasi Cnoll sampai pada puncaknya, tanggal 17 Pebruari 1672 Cnoll meninggal. Cornelia menjadi janda yang mewarisi kekayaan yang besar jumlahnya[1].


Sekitar 3 tahun setelah kematian suaminya, Cornelia – yang telah ditinggal mati semua anaknya kecuali seorang, yaitu Cornelis Cnoll - dikenalkan oleh kawannya dengan Johan Bitter, seorang duda dengan 4 anak. Johan Bitter adalah akhli hukum, lahir tahun 1638 di Arnhem, yang sejak 12 September 1675 bertugas di Batavia sebagai anggota Mahkamah Pengadilan[2].

Perkenalan terus berlanjut dengan pertemuan-pertemuan berikutnya dan akhirnya keduanya memutuskan untuk kawin. Dikabarkan Cornelia bersedia kawin dengan anggota Mahkamah Pengadilan ini adalah untuk melindungi bisnisnya. Dengan status calon suaminya yang berlatar pendidikan hukum yang tinggi dan mempunyai kedudukan yang tinggi pula di Mahkamah Pengadilan Batavia, akan terbuka peluang bagi Cornelia untuk bergaul dengan kaum elite di Batavia. Sementara itu dikabarkan bahwa Johan Bitter mengawini Cornelia karena kehidupannya sebagai pegawai amat sulit dipandang dari sudut ekonomi sehingga perkawinannya itu diharapkan dapat meringankan beban ekonomi yang harus ditanggungnya

Dengan menyetujui pinangan Bitter, sesungguhnya Cornelia telah berani menanggung resiko. Walaupun mungkin tidak memahami seluk beluk hukum Belanda waktu itu namun Cornelia dipastikan menyadari bahwa dari sudut hukum, kedudukannya berada pada tingkat yang lebih rendah daripada pria.

Seperti halnya di mana-mana di Eropa, hukum Belanda waktu itu memberi kekuasaan mutlak kepada suami atas isterinya di mana di antaranya berlaku bahwa isteri tidak boleh melakukan tindakan atas namanya sendiri, termasuk dalam masalah hutang-piutang (baru tahun 1956 di Negeri Belanda hal ini dihapus).

Untuk membentengi diri dari kemungkinan Bitter melakukan tindakan yang merugikannya selama perkawinan, Cornelia -atas nasehat akhli hukumnya - mengajukan syarat-syarat sebelum perkawinan yang harus mereka tandatangani bersama di depan Notaris. Dalam naskah perjanjian tersebut tercantum :

· Cornelia menyediakan uang 25.000 ringgit untuk Bitter jika seandainya Cornelia mati lebih dulu daripada suaminya.

· Jka Bitter mati lebih dulu maka Cornelia akan memberikan 12.500 ringgit kepada anak-anak Bitter.

· Calon suami tersebut tidak menerima uang sama sekali saat pernikahan.

· Bunga dari uang 25.0000 ringgit yang disediakan Cornelia ditambah dengan uang yang didepositokan Bitter akan digunakan untuk mmbiayai kehidupan rumah tangga mereka berdua.

· Bitter harus menambahkan 5.000 ringgit dari miliknya sedangkan pendapatan Bitter setiap bulan harus ditambahkan pada uang yang terkumpul itu.

· Jika semua dana yang ada tidak mencukupi untuk kehidupan rumah tangga, Cornelia akan mencari dari sumber-sumber lain.

Cornelia masih belum yakin bahwa kata-kata dalam perjanjian itu akan merupakan jaminan yang cukup atas kewenangannya yang mutlak atas harta kekakayaannya sendiri. Oleh karena itulah ia meminta calon suaminya bersumpah bahwa keinginannya kawin dengan Cornelia tidak ada sangkut pautnya dengan hartanya tetapi terdorong oleh oleh perasaan cinta yang suci dan tulus dan dari kehendak untuk memberikan pendidikan yang sebaik-baiknya kepada anak-anak dari perkawinannya yang pertama.

Tanggal 7 Maret 1676 perjanjian tersebut dilakukan di depan Notaris walaupun Bitter hanya sanggup menyetor 3.759 ringgit Selanjutnya pernikahan diadakan tanggal 26 Maret 1676

Tidak lama setelah bulan madu, Cornelia mengungkapkan rencananya kepada Bitter untuk menginvestasikan dana 3.000 ringgit dalam sebuah rumah, yang terletak di suatu wilayah di Batavia, yang dibangun untuk seorang dokter Cina. Ia menginginkan agar kontrak itu dapat dilakukan atas namanya sendiri sehingga bunga uang bisa dibayarkan secara langsung kepadanya dan tidak melalui rekening biasa. Majelis Pengadilan Kota, yang harus mengesahkannya, menolak permohonan tersebut. Sesungguhnya Bitter dapat mengambil kesempatan bahwa dialah yang memberi izin. Namun nampaknya kesempatan itu tidak diambilnya dengan alasan bahwa ia tidak diajak berunding oleh isterinya dalam urusan tersebut. Entah apa sebabnya, atau mungkin ada beberapa alasan lainnya, maka urusan bisnis ini menyebabkan keributan besar dalam rumah tangga Bitter.

Bantuan dari luar datang untuk mendamaikan mereka. Di antaranya adalah Cornelis Speelman dan Constantijn Ranst, yang keduanya adalah rekan Bitter di Mahkamah Pengadilan. Cornelis Speelman juga sahabat dekat Cornelia sementara Ranst adalah suami Hester, kakak Cornelia.

Untuk melunakkan hati Bitter, disarankan agar Cornelia menyerahkan uang sebesar 25.000 ringgit yang semestinya baru akan diterima Bitter kalau Cornelia mati. Cornelia setuju sehingga pada tanggal 19 September 1676 sebanyak 13.000 ringgit dalam 37 pundi bersegel dan 12.000 ringgit berbentuk obligasi diserahkan kepada Bitter. Cornelia yakin bahwa dengan cara ini maka perdamaian akan terwujud. Sepertinya kelihatan demikian sebab dalam kurun waktu 1 minggu minggu setelah itu Bitter diketahui telah menulis surat kepada kawan-kawannya bahwa ia kembali rujuk dan hidup bahagia.

Merasa yakin urusan dengan suaminya telah beres, pada saat perjanjian ditandatangani, Cornelia telah memulai bisnisnya lagi tanpa melibatkan Bitter. Ia mengeluarkan obligasi 500 ringgit yang didebetkan kepada rekening seorang nahkoda bernama Verbeek dan hipotek 3000 ringgit kepada dokter Cina tersebut di atas untuk membangun rumah. Entah apa sebabnya pula hal ini memicu percekcokan dengan suaminya lagi.

Dalam percekcokan tersebut, Bitter mengejek saudari Cornelia, Hester. Bitter pun mengusir anak Cornelia, Cornelis, dari rumah dengan pedang karena Cornelis tidak mau menyerahkan kudanya kepada Bitter. Dalam kondisi kalap, Bitter memecahkan botol-botol dan lampu-lampu.

Percekcokan terus berlangsung. Tiap hari Bitter mencaci Cornelia dengan menyebutnya berwajah setan atau perempuan sundal. Umpatan-umpatan yang menyakitkan terhadap Cornelia ia lakukan pula di hadapan pelayan-pelayan mereka. Akhirnya tanggal 29 September 1676, Cornelia yang tidak tahan, melarikan diri ke rumah anaknya, Cornelis.

Tanggal 30 September 1676 Cornelia mengajukan tuntutan cerai kepada pendeta Pays dengan menyatakan bahwa ia telah dipukuli suaminya dengan kesaksian dokter Jan. Namun Bitter menyewa dokter lain yang kemudian menyatakan tidak ada tanda-tanda bahwa Cornelia dianiaya. Maka menjadi mentahlah tuntutan Cornelia tadi.

Dengan adanya keterlibatan pihak luar, maka peristiwa Cornelia-Bitter menjadi terbuka di masyarakat Batavia waktu itu. Awal Oktober 1676 sidang gereja dibuka untuk menyelesaikan gugatan Cornelia atas Bitter. Dalam sidang Pendeta Pays menyatakan bahwa ia sebelumnya telah berperan untuk mendamaikan mereka namun gagal. Saat sidang berlangsung tiba-tiba Bitter masuk dan marah dan menyangkal pernyataan – pernyataan Pendeta Pays. Akhirnya, Dewan Gereja melarang Bitter-Cornelia untuk mengikuti perjamuan suci di gereja.

Merasa dikucilkan dari perjamuan suci, Bitter makin menjelek-jelekkan Cornelia. Di depan mahkamah Pengadilan di mana ia bekerja, Bitter – yang mengetahui berbagai arsip tentang riwayat hitam ayah Cornelia- mengungkap kebobrokan ayah Cornelia tersebut. Ia pun sering mengungkapkan wajah jelek Cornelia. Suasana di rumah pun seperti “perang”. Sementara kejelekan Cornelia dan ayahnya terus diungkap di hadapan masyarakat Batavia, Bitter menyatakan bahwa ia mau menceraikan Cornelia asalkan Cornelia mau membayar 50.000 ringgit kepadanya.

Akhir November 1676, Cornelia keluar dari rumahnya sendiri. Cornelia mencari bantuan dari teman-temannya. Dari mereka Cornelia mengetahui bahwa Bitter telah membelanjakan sebagian dari harta yang diperolehnya dari Cornelia untuk membeli intan permata. Barang-barang berharga itu dikirim ke Belanda dengan kapal yang berangkat dari Batavia tanggal 11 November 1676. Bitter juga diketahui telah mengirim uang sebesar 3000 ringgit dalam bentuk wesel atas nama temannya Jacob Does. Atas dasar ini Cornelia mengirim surat kepada kenalannya di Belanda agar memberitahukan masalah Bitter ini kepada para direktur VOC.

Setelah mendapat izin dari Gubernur Jenderal VOC, 15 Februari 1677 Cornelia menuntut suaminya di pengadilan atas pencurian dan perlakuan kejam yang dilakukan suaminya. Cornelia menuntut perceraian, pengembalian uang 25.000 ringgit, pengembalian rumah yang ditempati suaminya serta pengembalian sejumlah budak.

Bitter menjawabnya dengan melakukan pendekatan kepada pihak Gereja. Rupanya berhasil sehingga dalam Sidang gereja di Batavia 1 Maret 1677, secara tertulis dinyatakan bahwa Bitter adalah suami yang baik, yang telah berusaha untuk berdamai sejak percekcokan tidak lama setelah mereka kawin namun isterinya emosional dan menempuh caranya sendiri. Dinyatakan pula di situ bahwa upaya gereja untuk mendatangi Cornelia ditolak oleh Cornelia yang bersikap keras kepala.

Dibekali kesaksian tersebut Bitter melakukan serangan balasan. Mahkamah Pengadilan dituntutnya agar memerintahkan Cornelia kembali kepada suaminya. Ia juga menegaskan bahwa hukum memberikan hak kepadanya untuk melakukan pengurusan dan pemindahan hak atas harta Cornelia serta hak atas separoh pendapatan bunga dan pungutan hasil yang diperoleh dari harta itu.

Bitter dengan caranya sendiri mencari kesaksian Dewan Gereja bahwa sesungguhnya ia telah berusaha untuk rukun namun ditolak oleh Cornelia. Atas dasar itulah ia berpendapat bahwa Mahkamah Pengadilan di Batavia telah mencemarkan nama baiknya. Ia pun menuntut agar mahkamah tersebut menyuruh Cornelia kembali ke rumah.

Belum lagi urusan selesai, akhir Maret 1677 saat Pendeta Zas dan orang-orang lainnya mengiringi Cornelia mendatangi rumah Cornelia yang didiami Bitter, entah mengapa, Bitter menghina Zas. Pendeta tersebut tidak menerima hinaan itu. Walaupun para saksi enggan untuk memberikan kesaksian, Zas dengan berani mengajukan persoalan ini kepada Dewan Gereja. Dewan Gereja kemudian memutuskan agar Bitter bertanggungjawab. Bitter tidak mau bahkan mengadu kepada Gubernur Jenderal tentang cara-cara Dewan Gereja menangani persoalan yang dianggap menyusahkannya. Tanggal 21 Juni 1677 keluar surat Gubernur Jenderal VOC di Batavia, Maetsuycker, yang dibacakan di depan Dewan Gereja. Isinya menyatakan agar para orang saleh di Dewan Gereja mau bersabar dan tidak mendesakkan kehendaknya kepada salah seorang pegawainya di VOC yang disebutnya sebagai akhli hukum yang rajin.

Dewan Gereja mundur selangkah dan memberi waktu kepada Bitter untuk menuliskan pernyataann. Karena hal ini tidak juga dipenuhi oleh Bitter, maka Dewan Gereja memutuskan dua hal pada 1 Juli 1677. Yang pertama agar Bitter mau meminta maaf kepada Gereja atas kelakuannya yang provokatif. Yang kedua agar Bitter dan Zas saling mau meminta dan memberi maaf. Oleh Gereja juga diputuskan bahwa untuk sementara Bitter tetap tidak boleh mengikuti perjamuan suci sampai proses saling minta maaf selesai dilakukan.

Bitter bersedia meminta maaf kepada Gereja tapi tidak kepada Zas. Persoalan jadi bertele-tele yang memakan waktu walaupun akhirnya beres setelah anggota Dewan Van Dam turun tangan menegosiasi Bitter. Tanggal 13 Desember 1677 surat Bitter diterima oleh Gereja yang isinya adalah permohonan maaf.

Sementara itu tanggal 8 September 1677 masalah penyelundupan intan yang melibatkan Bitter diajukan ke sidang Heren VII di Amsterdam. Diputuskan di sana bahwa semua intan tersebut disita dan kepada Gubernur Jenderal di Batavia dikirim permohonan agar memberikan peringatan kepada Mahkamah Pengadilan di Batavia untuk menegakkan keadilan. Juga diperintahkan agar Bitter ditarik pulang kembali ke Belanda karena dianggap sebagai pegawai yang tidak berguna. Perintah tersebut baru sampai di Batavia 6 Juni 1678.

Sementara itu pada tanggal 4 November 1679, permohonan Cornelia untuk berpisah dengan Bitter dikabulkan oleh Mahkamah. Selanjutnya tanggal 11 November 1679, Bitter dipecat karena dianggap bersalah melakukan penyelundupan intan dan ia diperintahkan untuk kembali ke Belanda.

Bitter tidak mau menerima keputusan ini. Tanggal 2 Januari 1680, Bitter mengajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia agar melakukan pemeriksaan ulang atas kasus perceraiannya di Batavia yang berarti ia perlu menunda keberangkatannya ke Belanda. Ia juga memohon agar isterinya menyertainya ke Belanda. Semua permohonan Bitter itu ditolak dan tanggal 15 Maret 1680 Bitter bertolak ke Negeri Belanda.

Setelah kejadian itu untuk sementara Cornelia kembali hidup wajar. Bahkan ia sudah berani tampil dengan kereta kuda. Juni 1680 Cornelia melayangkan surat kepada Dewan Gereja agar bisa ikut dalam perjamuan suci di gereja namun masih ditolak.

Sementara itu selama berada di Amsterdam, Bitter mendapat masukan dari banyak ahli hukum yang rupanya masih dapat dimintai nasehat. Berdasarkan nasehat mereka, maka pada Februari 1681 Bitter menyerahkan surat kuasa sita atas harta isterinya kepada Mahkamah Pengadilan Negeri Belanda. Alasannya adalah bahwa keinginannya untuk rukun kembali – sebagai suami yang baik - dengan isterinya, yang minta cerai, dihalangi oleh pemerintah di Batavia.

Berdasarkan surat kuasa sita itu, 27 Februari 1681, Jurusita Pertama dari Mahkamah Belanda di kantor Den Haag mengunjungi kantor VOC di kota itu dan menyatakan penyitaan. Karena Cornelia tidak ada di negeri Belanda maka surat kuasa sita tersebut dikirimkan ke Batavia.

Tanggal 6 November 1681 ketua Mahkamah Pengadilan di Batavia mengadakan rapat sehubungan dengan surat sita yang datang dari Belanda. Melalui berbagai sidang maka Oktober 1682 gugatan Bitter atas Cornelia tidak diterima oleh Mahkamah Pengadilan di Batavia karena gugatan tersebut telah gugur oleh kenyataan bahwa perkara ini sudah diputus sebelumnya oleh Mahkamah Pengadilan di Batavia. Oleh sebab itulah tanggal 22 Desember 1682 Mahkamah Pengadilan Batavia memutuskan menerima permohonan rujuk Bitter namun menolak penyitaan harta Cornelia.

Bitter tetap tidak mau kalah dan mencari cara agar ia mempunyai “gigi” untuk dapat menyelesaikan perkaranya. Melalui serangkaian pendekatan di Negeri Belanda, Bitter akhirnya berhasil diangkat kembali menjadi anggota Mahkamah Pengadilan di Batavia. Bitter lalu berangkat dengan menggunakan kapal Ridderschap van Holland (yang dikabarkan memiliki 36 meriam dengan jumlah awak 300 orang) dan sampai di Batavia tanggal 27 November 1683.

Tiga minggu setelah Bitter tiba, Ketua Dewan Gereja Batavia dan stafnya mengunjungi Cornelia. Mereka datang untuk memberitahu bahwa tanggal 9 Desember 1683 Bitter telah datang menemui mereka dan meminta Gereja menjadi penengah. Alasannya, Bitter mendengar bahwa Cornelia telah diterima kembali dalam perjamuan suci. Bitter menitip pertanyaan kepada Cornelia melalui Ketua Dewan Gereja itu bahwa apakah benar Cornelia ingin rujuk sebagaimana dinyatakan Cornelia saat ia memohon agar dapat mengikuti perjamuan suci. Cornelia menjawab dengan cara yang tidak jelas sehingga Gereja akhirnya berkeputusan untuk menolak kehadiran Cornelia dalam perjamuan suci berikutnya.

Dengan bekal dokumen keputusan Dewan Gereja berkenaan dengan sikap Cornelia yang dianggap tidak terbuka tersebut, Bitter lalu mengajukan tuntutan agar pengadilan melakukan revisi. Pengadilan mengabulkan tuntutan tersebut karena dua pelindung Cornelia selama ini, Cornelis Speelman dan Balthazar Bort, telah meninggal 11 Januari 1684. Dengan katalain tidak ada lagi yang dapat membela Cornelia.

Oleh Mahkamah Pengadilan tanggal 9 Mei 1684, keputusan tahun 1679 dinyatakan batal dan Cornelia diperintahkan untuk membuka rumah bagi Bitter dan agar mereka hidup tenteram serta takut kepada Tuhan.

Selain itu pengadilan memberikan wewenang penuh kepada Bitter penuh untuk mengelola dan memindahkan hak atas harta milik isterinya serta berhak pula atas separuh dari biaya dan pendapatan yang dihasilkan dari pengelolaan harta Cornelia.

Nampaknya keduanya mau rujuk. Sejak Mei 1684, Cornelia-Bitter terlihat sangat rukun. Setiap minggu mereka pergi ke gereja bersama sehingga menjadi teladan bagi orang-orang lain. Dan akhirnya tanggal 25 September 1684, permohonan suami-isteri Bitter untuk mengikuti perjamuan suci diizinkan oleh Gereja.

Satu tengah tahun telah berlalu dalam suasana kehidupan rumah tangga yang damai. Namun badai rumah tangga rupanya tidak pernah mau diam. Bulan Agustus 1685 pertengkaran meledak lagi. Penyebabnya adalah tindakan Bitter yang memindahkan 20,000 ringgit uang Connelia ke rekeningnya sendiri. Pertengkaran terus berlangsung dan puncaknya, tanggal 5 Januari 1686, dikabarkan Cornelia dianiaya oleh Bitter.

Tanggal 25 November 1686, Direktur Jenderal Anthony Hudt dan Gerard de Bevere melaporkan tentang usaha mereka yang gagal untuk mendamaikan Bitter-Cornelia. Selanjutnya pada akhir tahun 1686, Cornelia dikabarkan tidak boleh memasuki rumahnya sendiri oleh Bitter. Lalu tanggal 13 Desember 1686 Gubernur Jenderal Camphuys memutuskan untuk tidak lagi tertarik memutuskan mana yang benar dan mana yang salah dalam perkara Cornelia-Bitter. Kalau ada yang bertengkar maka keduanya akan dinyatakan bersalah.

Karena Mahkamah Pengadilan di Batavia sudah tidak sanggup lagi mengatasi persoalan mereka, maka dengan menggunakan kelihaiannya, Bitter berhasil mengajukan masalah ini ke Mahkamah Pengadilan di Belanda.

Tanggal 15 Desember 1687 Cornelia dengan kapal Eenhoorn berangkat ke Belanda disertai anaknya Cornelis Cnoll. Dalam perjalanan itu anaknya meninggal. Sementara itu dengan kapal lain, 7 Desember 1687, Bitter juga berangkat ke Belanda.

Tanggal 4 Juli 1691, Mahkamah Pengadilan di Belanda mengumumkan keputusan bahwa Cornelia diperintahkan untuk kembali kepada suaminya dan hidup bersamanya dengan tenteram dan takut akan Tuhan. Bitter dinyatakan berhak atas separoh pendapatan dan hasil yang diperoleh dari harta Cornelia. Kedua pihak diharuskan dalam tempo 14 hari menghadap di depan kuasa untuk menyatakan kesediaan mereka menaati perintah-perintah tersebut dan untuk menyelesaikannya dengan cepat

Sidang bulan September 1691 tidak dihadiri oleh Cornelia. Ada yang mengatakan bahwa ia mati. Namun berdasarkan penelitian arsip-arsip di Amsterdam dan Den Haag ia hilang, tidak mati.

Bagaimana dengan Johan Bitter sendiri ? Ia masih hidup tanpa menikah hingga matinya tanggal 17 Maret 1714. Selama akhir hidupnya di Belanda, ia empat kali menjadi anggota Dewan Pengadilan Kota dan dua kali sebagai walikota di kota Wijk bij Duurstede.

Yang dapat diambil hikmahnya dari peristiwa Cornelia-Bitter ini antara lain adalah :

· Cornelia tidak sepenuhnya ikhlas dalam perkawinannya yang kedua. Ia masih ingin mengemudikan sendiri bisnisnya tanpa mau dicampurtangani oleh suaminya. Bahkan kemungkinan ia ingin memanfaatkan suaminya untuk kepentingan bisnisnya. Sementara suaminya – yang sering bersikap kasar - memang terlihat hanya ingin mengangkangi harta Cornelia. Maka terjadilah “perang” di antara keduanya.

· Usaha Bitter yang tidak kenal lelah dengan berbagai cara menyebabkan tuntutan Cornelia untuk bercerai tak kunjung berhasil. Akhirnya, Bitter menikmati hari tuanya dalam keadaan kaya, sementara Cornelia mati atau hilang tidak tentu rimbanya.

Sumber :

· Leonard Blusse, 1988. Persekutuan Aneh. PT Pustazet Perkasa, Jakarta

· De Graaf, H.J., 1987. Desintegrasi Mataram Di Bawah Mangkurat I, Grafiti Press, Jakarta.

· Hamid Basyaib, 2002. Cornelia, Drama Janda Batavia, 5/10/2002, Yayasan Aksara, Jakarta (via internet)

· BAPPEDA DKI Jakarta, 2001. Menuju Jayakarta



[1] Tahun 1671, anak Cornelia hanya 4 orang yang masih hidup. Sementara jumlah budak keluarga Cornelia adalah 40 orang. Dikabarkan bahwa Untung (kelak Untung Surapati) adalah salah satu abdi Cnoll. Untung, yang disebut sebagai budak kesayangan Pieter Cnoll, antara lain bertugas membawakan payung. Oleh Cornelia, Untung diserahkan kepada Cornelis Cnoll, putera tertua yang bengal. Agaknya Cornelis kelewat bengis sehingga sang budak sakit hati dan lari masuk hutan, lalu mengobarkan pemberontakan. VOC harus membayar mahal dengan harta dan nyawa karena selama 20 tahun berikutnya, Untung mengadakan perlawanan yang hebat (Hamid Basyaib, 2002)

[2] Januari 1675, Johan Bitter berangkat bersama isteri dan 5 anaknya untuk berdinas sebagai anggota Mahkamah Pengadilan di Batavia. Tanggal 12 September 1675 ia sampai di Batavia namun isteri dan seorang anaknya meninggal sewaktu dalam pelayaran karena sakit.

Kehidupan di Batavia dikabarkan mahal. Lebih mahal dari di Belanda sendiri. Itulah salah satu alasan mengapa banyak janda kaya di Batavia laris diburu untuk diperisteri oleh pegawai-pegawai VOC, termasuk di antaranya adalah Johan Bitter (Leonard Blusse, 1988).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar