Jumat, 08 Oktober 2010

Rara Jonggrang

Menyiasati Cinta Tak Disuka

Dekat kota Yogyakarta terdapat sebuah candi Hindu yang indah, yang diperkirakan dibangun pada abad kesembilan Masehi. Karena terletak di desa Prambanan, maka candi ini disebut candi Prambanan[1]. Namun demikian candi tersebut juga disebut candi Lara Jonggrang, sebuah nama yang diambil dari legenda Lara Jonggrang/Rara Jonggrang dan Bandung Bondowoso.

Rakai Pikatan – suami Sri Kahulunan (Pramodawardani)– mungkin sekali mengusahakan pembangunan Candi Lara Jonggrang tersebut. Dalam sebuah prasasti tahun 856, yang dikeluarkan oleh Dyah Lokapala/Rakai Kayuwangi segera setelah Rakai Pikatan turun dari tahta, terdapat penjelasan mengenai kelompok candi agama Siwa yang sesuai benar dengan keadaan kelompok Candi Lara Jonggrang. Demikian pula dalam Kitab Ramayana yang diperkirakan dihimpun pada abad 9 terdapat keterangan serupa. Nama Rakai Pikatan, yang digores dengan cat, terdapat pada salah satu candi kelompok tersebut[2].

Menurut legenda yang sampai saat ini masih sering dituturkan masyarakat setempat, tersebutlah seorang raja yang bernama Prabu Baka. Raja tersebut bertahta di istana yang terletak di Gunung Baka, sekitar 2 km di selatan Prambanan. Raja ini, meskipun besar kekuasaannya, karena sudah takdirnya, dapat dikalahkan oleh Raja Pengging.

Prabu Baka meninggal di medan perang. Konon kemenangan Raja Pengging itu karena dibantu oleh orang sakti yang bernama Bandawasa yang juga terkenal bernama Bandung Bandawasa karena dia mempunyai senjata sakti yang bernama Bandung.

Atas persetujuan Raja Pengging, Bandung Bandawasa menempati Istana Prambanan. Di situ dia terpesona oleh Rara Jonggrang, puteri almarhum Prabu Baka, yang cantik. Bandung Bandawasa lantas meminang Rara Jonggrang untuk dijadikan isterinya[3].

Atas pinangan itu, Rara Jonggrang menjadi serba salah. Antara menolak dan takut jika menolak. Tetapi akhirnya timbul siasat untuk dengan halus menolak dengan cara mengulur waktu, kalau memungkinkan. Rara Jonggrang mengajukan permintaan bahwa Bandung Bandawasa baru dapat mengawininya asalkan syarat-syaratnya dipenuhi, yaitu membuatkan seribu candi dan dua buah sumur yang harus selesai seluruhnya dalam waktu semalam. Bandung Bandawasa, yang merasa yakin akan kemampuannya, menyanggupi meskipun semula agak keberatan.

Bandung Bandawasa segera meminta bantuan ayahnya sendiri, orang sakti yang mempunyai balatentara roh-roh halus. Lalu pada hari yang sudah ditentukan, Bandung Bandawasa beserta pengikutnya dan roh-roh halus mulai membangun candi yang jumlahnya banyak itu. Sangat mengherankan cara dan kecepatan mereka bekerja. Sesudah jam empat pagi hanya tinggal lima buah candi yang harus disiapkan. Di samping itu sumurnya pun sudah hampir selesai.

Seluruh penghuni Istana Prambanan menjadi bingung karena mereka yakin bahwa semua syarat Rara Jonggrang akan dapat dipenuhi oleh Bandung Bandawasa. Setelah berpikir, mereka pun menemukan cara. Gadis-gadis segera dibangunkan dan disuruh menumbuk padi di lesung serta menaburkan bunga yang harum baunya. Mendengar bunyi lesung dan mencium bau bunga-bungaan yang harum, roh-roh halus menghentikan pekerjaan karena mereka mengira bahwa hari sudah siang. Pembuatan candi terhenti dan jumlah candi kurang sebuah. Apa hendak dikata, roh halus tak mungkin bekerja lagi dan tanpa bantuan mereka tidak mungkin Bandung Bandawasa menyelesaikannya sendiri.

Bandung Bandawasa menyelidiki penyebab kejadian itu. Akhirnya ia mengetahui kecurangan Rara Jonggrang. Dengan perasaan marah dan kecewa, ia mendatanginya tetapi Rara Jonggrang tetap bersikukuh meminta syaratnya untuk membangun 1.000 candi dipenuhi.

Permintaan itu menimbulkan kemarahan Bandung Bandawasa. "Kurang satu, tambahnya engkau sendiri". Demikian ucapan Bandung Bandawasa dengan nada sangat marah. Setelah Bandung Bandawsa mengeluarkan kata-kata itu, Rara Jonggrang pun langsung berubah menjadi arca, untuk melengkapi sebuah arca yang belum terselesaikan. Para gadis di sekitar Prambanan pun juga dikutuk oleh Bandung Bandawasa. Mereka disumpahi tidak akan ada orang yang mau memperisteri mereka sampai mereka menjadi perawan tua.

Arca yang dianggap sebagai penjelmaan dari Rara Jonggrang, yang berwujud Dewi Durga, terdapat dalam ruang candi yang besar yang sampai sekarang dinamakan candi Lara Jonggrang. Sementara itu candi-candi lain yang ada di dekatnya disebut Candi Sewu yang artinya seribu.

Pelajaran yang patut disimak dalam cerita Rara Jonggrang adalah :

  • Legenda Roro Jonggrang mengisahkan ketidaksukaan seorang wanita untuk menerima nasib. Ia berusaha menolak nasib atau dengan kata lain berusaha memperbaiki nasib dengan menggunakan akalnya yang didasarkan pada fenomena alam (bahwa pergantian malam dengan siang selalu ada tanda-tandanya dan tanda-tanda itulah yang direkayasa sehingga seolah-olah telah terjadi pergantian malam menjadi siang). Walaupun akhirnya ia menjadi patung namun itulah mungkin jalan yang terbaik baginya agar tidak kawin dengan laki-laki yang akan memaksakan kehendaknya.
  • Ada kabar burung di masyarakat bahwa kutukan Bandung Bandawasa atas perempuan sekitar Prambanan berlaku dengan kenyataan bahwa banyak perempuan di sana yang menjadi perawan tua. Tentunya hal ini perlu diteliti / dibuktikan. Kalaupun terjadi tentunya bukan karena “kutukan” itu yang berlaku tetapi karena manusianya terpengaruh oleh kutukan itu atau tidak ada usaha untuk merubah kutuk itu (kalau memang ada) agar yang menakutkan ini tidak terjadi.


Referensi :

  • Soekmono, 1993. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia II. Penerbit Kanisius, Jakarta
  • Soetarno, 1988. Aneka Candi Kuno di Indonesia. Dahara Prize. Semarang.
  • www jawapalace org , 2004


[1] Candi Prambanan dikenal kembali saat seorang Belanda bernama C.A.Lons mengunjungi Jawa pada tahun 1733. Ia melaporkan tentang adanya reruntuhan candi yang ditumbuhi semak belukar. Selanjutnya usaha pertama kali untuk menyelamatkan Candi Prambanan dilakukan oleh Ijzerman pada tahun 1885 dengan membersihkan bilik-bilik candi dari reruntuhan batu. Pada tahun 1902, mulailah dilakukan pekerjaan pembinaan yang dipimpin oleh Van Erp untuk candi Siwa, candi Wisnu dan candi Brahma. Sejak itu perhatian terhadap candi Prambanan terus meningkat. Tahun 1933 berhasil disusun percobaan untuk merekonstruksi Candi Brahma dan Wisnu. Setelah mengalami berbagai hambatan, pada tanggal 23 Desember 1953 Candi Siwa selesai dipugar. Candi Brahma mulai dipugar tahun 1978 dan diresmikan 1987. Candi Wisnu mulai dipugar tahun 1982 dan selesai tahun 1991. Kegiatan pemugaran berikutnya dilakukan terhadap 3 buah candi perwara yang berada di depan candi Siwa, Wisnu dan Brahma besarta 4 candi kelir dan 4 candi disudut / patok (www jawapalace org , 2004).

[2] Soekmono, 1993.

[3] Petilasan istana Ratu Boko terletak di sebuah bukit, sekitar 2 km di sebelah selatan kompleks candi Prambanan. Istana tersebut diperkirakan dibangun oleh Balaputeradewa, sezaman dengan pembangunan Candi Prambanan, dan dimaksudkan sebagai tempat pertahanan untuk menghadapi dinasti Sanjaya. Sisa-sisa gapura dan sisa-sisa pilar serambi istana ini masih dapat dijumpai dalam wujud enam candi yang terletak pada sebuah halaman berbentuk bujur sangkar dengan sisi sepanjang 110 meter. Di sisi dalam halaman tersebut, terdapat beberapa candi, yaitu 2 buah candi pengapit dengan ketinggian 16 meter yang saling berhadapan, sebuah candi di sebelah utara, sebuah candi di sebelah selatan, 4 buah candi kelir dan 4 buah candi sudut. Pada halaman tengah, yang oleh masyarakat Hindu dipercaya sebagai halaman yang paling sakral, berbentuk sebuah bujur sangkar dengan sisi sepanjang 222 meter. Bagian ini pada mulanya berisi candi-candi perwara sebanyak 224 buah berderet mengelilingi halaman dalam 3 baris. Sisi luar bagian halaman berbentuk sebuah halaman segi empat dengan sisi sepanjang 390 meter. Pada bagian dalam terdapat sisa-sisa keputren (tempat tinggal puteri raja) dan sitihinggil. Keputren ini dilengkapi dengan kolam pemandian yang diperkirakan merupakan tempat bercengkrama Roro Jonggrang (Soetarno, 1988)

Pohaci Rababu & Dewi Pangrenyep

Skandal Demi Skandal Penyulut Gonjang Ganjing

Di Desa Karang Kamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis, 16 km arah timur kota Ciamis dapat kita temukan suatu cagar budaya yang disebut Cagar Budaya Karang Kamulyan. Di situ dahulu pernah berpusat sebuah kerajaan kuno yang menurut sejarah bernama Kerajaan Galuh.

Di tempat – yang dikabarkan sebagai pusat kerajaan Galuh - itu ditemukan beberapa peninggalan yang antara lain berupa :

  • Batu Pangcalikan, yang diberitakan merupakan bekas singgasana dan tempat bermusyawarah Raja.
  • Penyambungan Ayam, yang diyakini sebagai tempat Ciung Wanara menyabung ayam dengan Bondan Sarati.
  • Sanghyang Bedil
  • Lambang Peribadatan
  • Sumber air Citeguh dan Cirahayu
  • Makam Adipati Panaekan
  • Pamangkonan
  • Batu Panyandaan
  • Patimuan
  • Leuwi Sipatahunan yang disebut-sebut sebagai tempat bayi Ciung Wanara dibuang di Sungai Citanduy.

Pusat kerajaan tersebut, kalau diperhatikan, berada di pertemuan Sungai Citanduy dengan Sungai Cimuntur. Adalah suatu hal yang logis pada zaman itu untuk menjadikan pertemuan sungai sebagai ibukota yang biasanya mempunyai benteng dari alam untuk menghadapi serbuan musuh.

Raja pertama Galuh adalah Wretikandayun (591 M -702 M). Dianggap sebagai raja pertama karena dialah yang menjadikan kerajaan yang disebut Galuh tersebut terlepas dari statusnya sebagai bawahan Kerajaan Sunda di masa Kerajaan Sunda dirajai oleh Tarusbawa[1].

Dari isterinya Candraresmi, Wretikandayun yang dinobatkan tahun 612 M, mempunyai 3 orang anak, yakni Sempakwaja (620 M-729 M), Jantaka (lahir 622) M dan Amara/mandiminyak (624 M-709 M).

Sempakwaja sesungguhnya adalah nama panggilan karena nama kecilnya tidak diketahui. Disebut Sempakwaja karena ia ompong alias tidak bergigi (empak = ompong, waja = gigi). Sedangkan Jantaka menderita hernia yang waktu itu termasuk sejenis penyakit yang belum bisa disembuhkan.

Karena keduanya cacat badan maka baik Sempakwaja maupun Jantaka tidak mungkin menjadi pengganti Wretikandayun. Sempakwaja lalu menjadi rajaresi di Galunggung dengan gelar Batara Danghyang Guru. Sedangkan Jantaka menjadi resiguru di Telaga Denuh (Galuh Selatan) dengan gelar Resiguru Wanayasa atau Rahiyang Kidul [2]. Yang diangkat menjadi putera mahkota adalah Amara / Mandiminyak.

Saat menjadi resiguru di Galunggung, Sempakwaja menikah dengan Pohaci Rababu, seorang wanita yang dikenal berparas cantik. Konon ia berasal dari Gunung Kendan (dekat Rancaekek sekarang)[3].

Suatu saat Mandiminyak atau Amara (624 M-709 M), adik Sempakwaja yang menjadi putera mahkota Galuh, mengadakan pesta perjamuan (utsawakarma) di istana. Yang mengundang adalah ayahnya, Raja Galuh Wretikandayun. Sempakwaja tidak hadir karena sakit namun karena menganggap undangan ayahnya tersebut penting, maka ia diwakili oleh isterinya Pohaci Rababu. Sementara Pohaci Rababu pergi ke Galuh, anak-anak Sempakwaja tinggal di Galunggung merawat ayahnya.

Kehadiran Pohaci Rababu yang cantik di Istana Galuh ternyata menerbitkan masalah. Entah bagaimana kejadiannya namun dikabarkan selama 4 hari terjadilah smarakarya (skandal asmara) antara Pohaci Rababu, yang cantik itu, dengan adik iparnya, Mandiminyak / Amara. Orang yang disebut terakhir ini dalam sejarah dikatakan sebagai laki-laki yang pandai merayu.

Hasil skandal kedua manusia berlainan jenis itu adalah seorang anak laki-laki bernama Sena yang lahir pada tahun 661 M. Kerajaan menjadi kisruh karena peristiwa tersebut namun akhirnya dapat diredam karena Sempakwaja turun tangan. Pohaci Rababu dimaafkan dan boleh kembali ke Galunggung. Sementara si kecil Sena harus dirawat oleh Mandiminyak / Amara sebagai pertanggungjawabannya.

Menurut sejarah, Mandiminyak selanjutnya disingkirkan secara halus dari keraton oleh ayahnya, Wretikandayun. Ia dikawinkan dengan Parwati anak Ratu Sima dengan Kartikeyasinga, raja Kalingga yang berkedudukan di Jawa Tengah. Karena itulah Mandiminyak tinggal di Kalingga.

Dari perkawinan Mandiminyak dengan Parwati ini kelak lahirlah Sanaha[4]. Kelak setelah Sanaha (anak Mandiminyak dengan Parwati) cukup dewasa, Ratu Sima menjodohkannya dengan Sena (anak Mandiminyak dengan Pohaci Rababu). Perkawinan sedarah ini kelak pada tahun 683 melahirkan anak yang bernama Sanjaya (683 M-754 M).

Pada tahun 695 M, Mandiminyak bersama isterinya, Parwati, menjadi penguasa Kalingga Utara. Hal ini terjadi karena setelah Ratu Sima wafat, kerajaan dibagi dua. Sebelah utara (yang disebut Bumi Mataram) diperintah oleh Parwati dan Mandiminyak, yang memerintah sampai tahun 716 M. Sedangkan sebelah selatan dan timur (yang disebut Bumi Sambhara) diperintah oleh Narayana (adik Parwati) yang memerintah sampai tahun 742 M.

Mandiminyak kemudian menggantikan ayahnya, Wretikandayun, yang wafat tahun 702 M, sebagai Raja Galuh. Dengan demikian posisi Mandiminyak semakin kuat. Ia berkuasa atas Kalingga (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan Galuh (Jawa Barat). Dalam posisinya yang kuat itu, tidak berapa lama sekitar tahun 703/704 M, Mandiminyak menjodohkan cucunya, Sanjaya, dengan Sekar Kancana (Teja Kancana Ayupurnawangi), cucu Raja Sunda Tarusbawa yang berkedudukan di Pakuan. Dari perkawinan Sanjaya-Teja Kancana ini kelak lahir anak laki-laki yang dinamakan Tamperan Barmawijaya (704-739 M) [5],[6].

Pada tahun 709 M, Mandiminyak meninggal. Ia digantikan oleh Sena, anaknya dari Pohaci Rababu. Tetapi pengangkatan Sena sebagai raja Galuh tersebut tidak diterima oleh Purbasora, anak Sempakwaja dengan Pohaci Rababu. Purbasora bersiap melakukan penyerangan namun rencana itu rupanya diketahui oleh Sena.

Sena pun alu mengundang tentara Sunda untuk membantunya menghadapi Purbasora. Namun justru Purbasoralah yang kini mengetahui rencana itu. Dengan dukungan pasukan pimpinan Ki Balagantrang (sepupunya) beserta pasukan dari Kuningan, Purbasora dengan cepat menduduki Galuh pada tahun 716 M. Dalam situasi yang kalut seperti itu, Sena berhasil meloloskan diri ke Jawa Tengah, di mana ibunya Parwati menjadi raja di Kalingga Utara (Bumi Mataram).

Tahun 723 Tarusbawa wafat dalam usia 91 tahun. Ia digantikan oleh Sanjaya dan Teja Kancana. Sedangkan Anggada (adik sepupu Teja Kancana), cucu Tarusbawa dari anaknya yang bernama Mayangsari, menjadi Patih Sunda menggantikan ayahnya Wangsa Nagara.

Pada tahun 723 M Sanjaya yang kini mempunyai kekuasaan besar itu bersiap menyerbu Galuh yang dianggap telah merebut kekuasaan ayahnya, Sena. Persiapan itu dilakukan Sanjaya di Gunung Sawal sekitar 17 km dari Galuh.

Setelah semuanya siap, Sanjaya dan pasukannya menyerbu Galuh. Purbasora tewas sementara Balagantrang dapat meloloskan diri dan kemudian bersembunyi di Geger Sunten (Kampung Sodong Desa Tambaksari Kecamatan Rancah, Ciamis). Pada tahun itu pula Sanjaya menghancurkan Indraprahasta (isteri Purbasora. berasal dari sini). Karena menguasai Galuh itulah maka kini Sanjaya secara otomatis berhasil menyatukan Kalingga, Sunda dan Galuh.

Berdasarkan permufakatan dengan para sesepuh Galuh yang masih hidup untuk mencari solusi damai, Sanjaya ditetapkan untuk tidak memerintah Galuh secara langsung. Sanjaya menyetujui usul Sempakwaja yang mengangkat Premana Dikusuma, anak Wijayakusuma dan cucu Purbasora, sebagai raja Galuh. Premana Dikusuma – yang suka bertapa dengan gelar Ajar Sukaresi atau Bagawat Sajala-jala – lalu dikawinkan dengan Dewi Pangrenyep (704 M-739 M), anak patih Anggada. Dewi Pangrenyep ini adalah isteri kedua Premana Dikusuma. Sedangkan isteri pertamanya bernama Dewi Naganingrum (cucu Balagantrang yang lahir 698 M) yang darinya pada tahun 718 M dilahirkan Manarah.

Karena tidak langsung memerintah di Galuh, Sanjaya menempatkan anaknya, Tamperan Barmawijaya (704 M-739 M), sebagai duta di negeri itu. Pada tahun 723 M itu pula Demunawan, adik Purbasora, dinobatkan menjadi Raja Saung Galah di Kuningan.

Rasanya persoalan, yang menimbulkan korban jiwa dalam tempo yang lama itu, telah selesai sehingga kehidupan negara diharapkan menjadi damai. Namun ternyata tidak demikian. Kedamaian hanya berlangsung dalam bilangan bulan saja. Pada tahun 723 M itu pula terjadi skandal cinta antara Dewi Pangrenyep (isteri kedua Premana Dikusuma) dengan Tamperan (anak Sanjaya). Sebagai hasil gejolak asmara yang gelap ini maka pada tahun 724 lahirlah Kamarasa atau Banga[7].

Karena skandal itu, negeri Galuh geger kembali. Untuk meredam keributan, Sanjaya lalu mengungsikan Tamperan Barmawijaya untuk sementara ke Pakuan, ibukota kerajaan Sunda. Usaha tersebut ternyata berhasil karena untuk kurun waktu yang cukup lama negeri Galuh menjadi aman.

Selanjutnya pada tahun 731 Sanjaya kembali ke Mataram karena mendapat kabar bahwa ayahnya, Sena, akan turun tahta. Tahun itu pula Sanjaya mendapat kepastian bahwa Premana Dikusuma tetap ingin tinggal di pertapaan.

Tahun 732 M Sena baru benar-benar turun tahta. Kedudukan Sena di Kalingga diganti oleh Sanjaya sedangkan Tamperan Barmawijaya menggantikan Sanjaya di Jawa Barat dengan mengambil kedudukan di Galuh. Dengan demikian Tamperan pada usia 28 tahun telah menjadi penguasa Sunda-Galuh, yang wilayahnya meliputi seluruh Jawa Barat ditambah sedikit bagian barat Jawa Tengah.

Saat menjadi penguasa Sunda-Galuh, Tamperan Barmawijaya belum mempunyai permaisuri walaupun sudah mempunyai anak berusia 9 tahun hasil selingkuhnya dengan Pangrenyep. Sebenarnya ia ingin menjadikan Pangrenyep sebagai permaisuri namun adat atau hukum yang berlaku tidak mengizinkannya. Itu terjadi karena Pangrenyep masih berstatus sebagai isteri Premana Dikusuma.

Menghadapi situasi yang dianggapnya rumit ini, rupanya nafsu lebih dominan daripada akal. Dan itu terjadi pada Tamperan yang tidak mau berpikir njlimet. Ia menyelesaikan persoalan ini dengan cara menyuruh orang untuk membunuh Premana Dikusuma. Selanjutnya orang yang berhasil membunuh Premana Dikusuma tersebut dibunuh oleh pengikut-pengikut Tamperan.

Setelah Premana Dikusuma tewas, sekitar tahun 732 M, Tamperan lantas memperisteri Pangrenyep dan Naganingrum sekaligus. Pangrenyep menjadi permaisuri sedangkan Naganingrum menjadi selir. Manarah, anak Premana Dikusuma dengan Naganingrum yang saat itu berusia 14 tahun, diperlakukan sebagai anak oleh Tamperan.

Sementara itu Balagantrang yang pada tahun 723 M lolos dari serbuan Sanjaya telah menyusun kekuatan untuk merebut kembali tahta Galuh. Persiapan itu dilakukannya di Geger Sunten. Pelahan-pelahan ia mencari dukungan, termasuk membujuk Manarah dan banyak sekutu lainnya.

Tujuh tahun setelah kematian Premana Dikusuma, yaitu tahun 739 M, Balagantrang dan Manarah beserta pasukannya menyerbu Galuh. Karena tidak mengira dan tidak siap maka Tamperan dan Pangrenyep tertangkap dan dipenjarakan. Banga – anak Tamperan dengan Pangrenyep - tidak ditangkap dan diperlakukan dengan baik oleh Manarah. Bagaimana pun juga Banga adalah saudara satu ibunya.

Nampaknya Banga tidak tega melihat ayah dan ibunya dipenjara. Maka pada suatu saat dengan caranya sendiri, ia berhasil membebaskan kedua orang tuanya. Tamperan dan Pangrenyep kemudian lari namun kemudian tewas saat dikejar pasukan Manarah dan Balagantrang.

Sanjaya yang mendengar bahwa anaknya mengalami kesusahan, mengirim pasukan ke Galuh. Terjadilah perang namun Demunawan – sesepuh Sanjaya, Manarah dan Balagantrang yang sangat dihormati- berhasil mendamaikan semua pihak yang bertikai. Musyawarah segera dilakukan lagi dan hasilnya adalah kesepakatan berupa pembagian wilayah. Manarah (739-783 M) memerintah Galuh, Banga memerintah Sunda dan Demunawan menguasai kerajaan Saung Galah dan bekas kerajaan Galunggung (sampai dengan 774 M).

Pelajaran yang patut disimak dalam cerita - yang diwarnai perpaduan antara ambisi kekuasaan dan aroma skandal cinta atau seks - ini antara lain adalah:

  • Gara-gara skandal Pohaci Rababu tahun 661 M yang berselingkuh dengan adik suaminya, maka perseteruan antar sesama saudara mulai mencuat dan mencapai puncaknya tahun 716 M saat terjadi perebutan kekuasaan oleh Purbasora (anak Pohaci dengan Sempakwaja) terhadap Sena (anak Pohaci dengan Mandiminyak). Pihak yang diserang – dalam hal ini Sena - kemudian membalas yang mengakibatkan Purbasora tewas pada tahun 723.
  • Keadaan aman sebentar namun skandal terjadi lagi tahun 723. Dewi Pangrenyep – isteri kedua Premana Dikusuma (cucu Purbasora) - berselingkuh dengan Tamperan Barmawijaya (cicit Mandiminyak). Terjadilah serangkaian keributan yang mengakibatkan pertumpahan darah yang baru berhasil didamaikan pada tahun 739 M

Referensi :

  • Tim Penulis Sejarah, 1984. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat. Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat, Pemda Propinsi DT I Jawa Barat
  • Dinas Pariwisata Ciamis, 2003. Wisata Ciamis.



[1] Sang Kandiawan – ayah dari Wretikandayun - adalah bawahan Kerajaan Sunda yang menjadi raja di Negeri Kendan, 597-612 M. Negeri Kendan diberitakan berlokasi di sekitar Nagrek, dekat Bandung. Ayah Sang Kandiawan bernama Sang Suraliman yang menjadi raja di Kendan periode tahun 568-597 M, menggantikan ayahnya, Sang Resiguru Manikmaya (memerintah Kendan 536 M - 568 M). Wretikandayun, Raja pertama Galuh, menyatakan lepas dari Kerajaan Sunda dan memindahkan pusat kerajaan dari Kendan ke Galuh (Tim Penulis Sejarah, 1984).

[2] Jantaka yang menjadi resiguru di Telaga Denuh (Galuh Selatan) dengan gelar Resiguru Wanayasa atau Rahiyang Kidul menikah dan dikaruniai seorang anak yang bernama Ki Balagantrang / Sang Bimaraksa (Tim Penulis Sejarah, 1984)

[3] Pertemuan Pohaci Rababu dengan Sempakwaja dimulai saat Pohaci Rababu, perawan dusun yang tinggal tidak jauh dari pertapaan Sempakwaja sedang mandi di Telaga Candana bersama dua kawan wanitanya. Sempakwaja yang sedang berburu melihat mereka. Dengan isengnya ia menyembunyikan salah satu pakaian mereka. Secara kebetulan yang disembunyikan itu milik Pohaci Rababu. Singkat kata, berjodohlah mereka dan dari hasil perkawinan mereka itu lahirlah dua anak yaitu Purbasora (643 M-723 M) dan Demunawan (646 M- M). Purbasora di kemudian hari kawin dengan Citra Kirana, anak Resi Padmahariwangsa, raja Indrasprata di kawasan Cirebon (707-719 M). Anak sulung Purbasora bernama Wijayakusuma. Sementara adik Purbasora yang bernama Demunawan pada tahun 671 M kawin dengan Sangkari, anak dari Sang Pandawa / Wiragati, raja Kuningan (Tim Penulis Sejarah, 1984).

[4] Tahun 674 M ayah Parwati meninggal dunia dan digantikan oleh ibu Parwati sebagai Ratu Kalingga (674 M-695 M) dengan sebutan Ratu Sima yang bergelar Sri Maharani Mahissasuramardini Satyaputikeswara (Tim Penulis Sejarah, 1984).

[5] Ayah Teja Kancana adalah putera mahkota yang wafat sebelum menjadi raja. Teja Kancana kemudian diangkat sebagai anak oleh Raja Tarusbawa (Tim Penulis Sejarah, 1984).

[6] Sanjaya juga dikawinkan dengan anak perempuan Dewasinga yang bernama Sudiwara. Dewasinga adalah anak Narayana /Iswara, penguasa Bumi Sambhara (695-742 M). Sedangkan Narayana adalah adik Parwati (nenek Sanjaya). Baik Parwati maupun Narayana adalah anak dari Ratu Sima. Sudiwara sendiri adalah adik dari Gajayana yang memerintah Bumi Sambhara tahun 760-789 M. Jadi baik Sanjaya maupun Sudiwara adalah sama-sama cicit dari Ratu Sima. Anak hasil perkawinan Sanjaya-Sudiwara bernama Rakai Panangkaran yang dilahirkan tahun 717 M

[7] Dewi Pangrenyep (704 M-739 M), isteri kedua Permana Dikusuma, adalah cicit dari Raja Tarusbawa. Ia adalah anak Patih Anggada (cucu Tarusbawa). Sementara itu Tamperan Barmawijaya adalah cicit Mandiminyak dan anak dari Sanjaya dari isterinya yang bernama Tejakancana. Karena Tejakancana adalah cucu Maharaja Tarusbawa maka Tamperan Barmawijaya adalah cicit Tarusbawa. Mungkin kejalangan buyutnya (Mandiminyak) itu menurun pada Tamperan) (Tim Penulis Sejarah, 1984).

Kamis, 07 Oktober 2010

Ratu Sima

RAJAPUTERI KALINGGA


Di Jawa Tengah, Ratu Sima atau Ratu Simo dengan Kerajaan Kalingganya relatif terkenal. Beberapa kota bahkan sempat mengabadikan nama Sima dan Kalingga sebagai nama jalan di kota-kota tersebut.

Bekas-bekas kerajaan Kalingga sampai saat ini masih banyak terlihat di daerah Dieng. Sementara itu nama Ratu Sima sendiri juga sering dikaitkan dengan sosok wanita yang sangat cantik. Namun siapa sesungguhnya Ratu Sima ini?

Menurut catatan sejarah, Ratu Sima adalah isteri Kartikeyasinga yang menjadi raja Kalingga antara tahun 648 sampai dengan 674 M. Ayahanda Kartikeyasinga adalah Raja Kalingga yang tidak diketahui namanya, yang memerintah antara tahun 632 sampai dengan 648. Sementara itu ibunda Kartikeyasinga berasal dari Kerajaan Melayu Sribuja yang beribukota di Palembang. Raja Melayu Sribuja – yang dikalahkan Sriwijaya tahun 683 M - adalah kakak dari ibunda Prabu Kartikeyasinga Raja Kalingga .

Kalau suami dan nenek moyang suaminya diketahui asal-usulnya, maka siapa sesungguhnya leluhur Ratu Sima sendiri ? Apakah ia seorang wanita kebanyakan yang karena cantik lalu dipersunting oleh anak raja? Ataukah seorang puteri raja taklukan ? Ataukah mungkin anak raja negeri sahabat ? Tidak ada catatan yang jelas. Namun demikian yang hampir dapat dipastikan, Ratu Sima dengan suaminya merupakan leluhur raja-raja di Jawa Tengah, Jawa Timur dan bahkan Jawa Barat pada periode-periode kemudian.

Ratu Sima, pemeluk Hindu Syiwa, semula adalah wanita di belakang layar sewaktu suaminya, Kartikeyasinga, menjadi Raja Kalingga sejak tahun 648. Ratu Sima dengan Kartikeyasinga mempunyai dua orang anak, yaitu Parwati dan Narayana (Iswara) .

Untuk mempererat persahabatan dengan Galuh dengan maksud untuk menghadapi Sriwijaya yang saat itu beraliansi dengan Sunda, Kartikeyasinga dan isterinya Ratu Sima menjodohkan anaknya yang bernama Parwati dengan Amara (Mandiminyak), anak Raja Galuh Wretikandayun .

Parwati, dari perkawinan tersebut, melahirkan Sanaha pada tahun 661/662 M. Dengan perkawinan itu terbentuklah dua blok yang salin berhadapan, yaitu Blok Sriwijaya-Sunda dan Blok Kalingga-Galuh yang notabene sesungguhnya masih termasuk dalam satu rumpun keluarga .

Saat Kartikeyasinga wafat tahun 674, Ratu Sima mengambil alih posisi suaminya sebagai raja sampai dengan tahun 695 M dengan gelar Sri Maharani Mahissasuramardini Satyaputikeswara. Dalam pemerintahannya, menantunya, Mandiminyak dan adik iparnya, Narayana, diangkat menjadi pembantu-pembantunya . Pemeritahan di pusat kerajaan oleh Ratu Sima didelegasikan kepada 4 orang menteri yang mengatur negara beserta 28 negara taklukan yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur .

Saat Ratu Sima menggantikan suaminya sebagai Raja Kalingga, Sriwijaya yang saat itu dirajai Sri Jayanasa (berkuasa antara tahun 669-692 M) sedang gencar-gencarnya melakukan ekspansi. Negeri Melayu Sribuja (beribukota di Palembang), asal ibu mertua Ratu Sima, diserbu oleh Sriwijaya sejak tahun 670 M. Lantas pada tahun 675, hampir separuh wilayah Kerajaan Melayu diduduki dan akhirnya tahun 683 M diduduki secara penuh oleh Sriwijaya dengan mengerahkan tentaranya sebanyak sekitar 2 laksa (20.000 orang) . Dengan demikian Sriwijaya dapat menguasai seluruh Sumatera dan Semenanjung Malaya . Pada waktu itu ajakan damai dari Sri Jayanasa ditolak oleh Ratu Sima .

Untuk memperkuat persahabatan yang sudah terjalin sebelumnya dengan Kerajaan Galuh dalam upaya menghadapi Sriwijaya, Ratu Sima menyetujui perkawinan Sena dengan Sanaha. Sena adalah anak Mandiminyak dengan Pohaci Rababu sedangkan Sanaha adalah anak Mandiminyak dengan Parwati. Perkawinan sedarah ini membuahkan anak yang diberi nama Sanjaya (683 M-754 M)

Menurut sejarah, Ratu Sima – yang janda - sempat dipinang oleh Sri Jayanasa. Ratu Sima menolaknya. Oleh sebab itu pada tahun 686 Sriwijaya bermaksud menyerang Kalingga. Mengetahui rencana ini, Tarusbawa, raja Sunda, turun tangan dan mengirim surat kepada Sri Jayanasa bahwa ia tidak setuju dengan rencana itu. Alasannya adalah agar jangan timbul kesan bahwa gara-gara pinangannya ditolak oleh Ratu Sima, maka Sri Jayanasa hendak menyerbu Kalingga. Mau tak mau Sri Jayanasa terpaksa menyetujui usul Tarusbawa, yang juga adalah saudaranya sendiri. Kapal-kapal Kalingga, yang waktu itu sempat ditahan, dilepaskan setelah hartanya dirampas. Tindakan Sriwijaya hanya sekedar mengganggu keamanan laut Kalingga .

Sri Jayanasa Raja Sriwijaya mangkat tahun 692 M dan digantikan oleh Darmaputra (692-704). Sedangkan Ratu Sima mangkat 3 tahun kemudian, yaitu tahun 695 M. Sebelum mangkat, Kerajaan Kalingga dibagi dua. Di bagian utara disebut Bumi Mataram (dirajai oleh Parwati, 695 M-716 M). Di bagian selatan disebut Bumi Sambara (dirajai oleh Narayana, adik Parwati, yang bergelar Iswarakesawa Lingga Jagatnata Buwanatala, 695 M-742 M).

Sanjaya (cucu Parwati) dan Sudiwara (cucu Narayana) kelak menjadi suami isteri. Perkawinan mereka adalah perkawinan antara sesama cicit Ratu Sima. Anak hasil perkawinan mereka bernama Rakai Panangkaran yang lahir tahun 717 M. Dialah yang di kemudian hari menurunkan raja-raja di Jawa Tengah.

Pelajaran yang patut disimak dari riwayat Ratu Sima ini antara lain adalah :

  • Ratu Sima termasuk manusia yang tidak mau menyerah terhadap kodratnya sebagai wanita. Begitu suaminya meninggal, ia tampil menggantikan. Dalam menghadapi ekspansi Sriwijaya, ia juga tegar bahkan membangun aliansi dengan Kerajaan Galuh.
  • Yang masih sulit untuk diketahui dasarnya adalah perkawinan sedarah antara kedua cicitnya (Sena dengan Sanaha) yang menurut kabar dimotori atau paling tidak direstui oleh Ratu Sima. Mungkin cara itulah yang dianggap terbaik waktu itu untuk mempersatukan dua kerajaan untuk bersama-sama menghadapi kekuatan lain.

Referensi :

  • Tim Penulis Sejarah, 1981. Sejarah Nasional Indonesia I untuk SMA. Depdikbud Jakarta
  • Slamet Mulyana, 1980. Dari Holotan ke Jayakarta. Yayasan Idayu, Jakarta.
  • Tim Penulis Sejarah, 1984. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat. Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat, Pemda Propinsi DT I Jawa Barat
  • Soekmono, 1993. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia II. Penerbit Kanisius, Jakarta
  • Daljoeni, 1992. Geografi Kesejarahan II Indonesia. Penerbit Alumni, Bandung
  • Muchtar Lutfi, Suwardi, Anwar Syair dan Umar Amin, 1996. Sejarah Riau. Biro Bina Sosial Setwilda Tingkat I Riau

Roro Kidul

MENJADI LEBIH KARENA PRIHATIN

Mitos atau legenda tentang seorang makhluk halus perempuan sangat cantik yang bernama Nyi Roro Kidul dijumpai hampir merata di Pulau Jawa. Bahkan mitos itupun juga dikenal oleh banyak orang bukan asli Pulau Jawa. Saking terkenalnya, seirama dengan maraknya tontonan berbau mistis, mitos Nyi Roro Kidul telah banyak diangkat sebagai cerita dalam sinetron dan film dalam berbagai versi.

Kehadiran Nyi Roro Kidul dalam alam berpikir manusia sekaligus perwujudannya dalam berbagai adat dan tradisi, terutama di Pulau Jawa, mau tidak mau menunjukkan bahwa makhluk yang dinamakan Nyi Roro Kidul tersebut memiliki suatu kelebihan yang besar yang tidak kelihatan alias gaib.

Berbagai fenomena yang menunjukkan bahwa “kekuatan” Nyi Roro Kidul hadir di tengah masyarakat antara lain adalah:

  • Setiap tanggal 6 April masyarakat di Pelabuhan Ratu, Sukabumi Selatan, selalu menggelar acara ritual yang dianggap sebagai perwujudan rasa terima kasih kepada Nyai Roro Kidul. Ungkapan terima kasih itu diutarakan karena mereka beranggapan bahwa Nyai Roro Kidul telah melindungi mereka selama mengarungi Laut Selatan untuk menangkap ikan dan mencari kekayaan laut lainnya sebagai sumber mata pencarian mereka.
  • Hotel Samudra Beach Hotel (SBH) di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, menyediakan kamar nomor 308 (di lantai tiga) yang diperuntukan bagi Nyai Roro Kidul. Konon kamar tersebut disediakan atas perintah Presiden Pertama Republik Indonesia, Bung Karno/Soekarno. Sampai saat ini, kamar 308 tersebut masih dikeramatkan. Bahkan tidak sedikit yang sengaja menginap di kamar tersebut untuk bisa ‘bertemu’ dengan Nyai Roro Kidul. Biasanya, menurut petugas hotel SBH, kamar tersebut ramai dikunjungi pada Kamis malam dan Senin malam. Terlepas dari benar dan tidaknya cerita tersebut, yang jelas, cerita kamar 308 SBH itu telah terkenal ke mancanegara.
  • Hotel Ambarukma di Yogya, seperti halnya Hotel Samudra Beach di Sukabumi, juga menyediakan kamar tetap dan khusus untuk Nyai Roro Kidul dengan maksud yang kurang lebih sama.
  • Adanya kepercayaan bahwa jika ada orang hilang di Pantai Parangtritis, Yogya, maka orang tersebut hilang karena "diambil" oleh Nyi Roro Kidul.
  • Basuki Abdullah, pelukis istana kondang, pernah membuat lukisan Nyi Roro Kidul dalam ukuran besar. Konon sebelum melukis, sang maestro melakukan tirakat lebih dulu untuk bisa memperoleh penampakan makhluk gaib tersebut. Hal serupa juga pernah dilakukan saat Sibarani melukis wajah Si Singamangaraja XII.
  • Sekitar tujuh kilometer arah selatan Desa Plered, Kotagede, terletak Desa Ngrasawuni. Di arah timur dan timur laut desa ini, konon dahulu kala, pernah menjadi tempat raja pertama Mataram, Panembahan Senopati, berkencan dengan Nyi Roro Kidul. Petilasan yang dipercaya orang sebagai tempat yang dimaksud adalah gua dan bukit yang disebut Gunung Payung. Di bukit ini terdapat dua makam. Petilasan pertama adalah makam kuda sembrani, kuda bersayap kendaraan Senopati, yang bekas telapaknya tercetak pada "batu gilang" di dekat situ. Petilasan yang lainnya adalah "makam kama", yaitu makam sperma Senopati yang konon menetes di tanah pada bukit itu.
  • Masyarakat di Karang Bolong, Kebumen, mengadakan selamatan dan upacara, setiap kali sebelum turun ke gua untuk memungut sarang burung. Selamatan dan upacara tersebut dipersembahkan kepada Dewi Lampet. Dalam upacara ini dipergelarkan wayang kulit dengan lakon "Dewi Lampet", sebuah nama dan versi lain dari tokoh Dewi Laut Selatan yang satu itu juga, yaitu Nyi Roro Kidul.
  • Dalam satu bait tembang dalam karyanya yang berjudul "Wedatama", Mangkunegara IV (Penguasa Pura Mangkunegaran periode 1853-1881), melukiskan Nyi Roro Kidul sebagai berikut:
Wikan wengkuning samudra
Kederan wus den ideri
Kinemat kamoting driya
Rinegem sagegem dadi
Dumadya angratoni
Nenggih kang Ratu Kidul
nDedel nggayuh gegana
Umara marak marepek
Sor prabawa lan Wong Agung Ngeksiganda

Artinya :

Tahu akan batas samudera
Semua telah dijelajahi
Dipesonanya masuk hati
Digenggam satu menjadi
Jadilah ia merajai
Syahdan Sang Ratu Kidul
Terbang tinggi mengangkasa
Lalu datang bersembah
Kalah perbawa terhadap Junjungan Mataram

  • Dahulu di pantai selatan Yogyakarta setiap menjelang senja hari, terutama di musim penghujan, hampir selalu terjadi apa yang orang menamainya "lampor", yaitu bunyi kentongan yang dipukul terus menerus, sambung menyambung dari rumah ke rumah, menjalar dari desa satu ke desa yang lain. Konon yang menjadi jalarannya, seseorang yang tinggal di pinggir Kali Progo mendengar bunyi gemerincing, lalu "berlari" menyongsong aliran sungai dari selatan ke arah utara. Bunyi gemerincing itu – menurut kepercayaan – berasal dari kuda-kuda penghela kereta kendaraan Nyi Roro Kidul, yang sedang lewat menuju lereng Gunung Merapi. Di gunung itu berdiam tangan kanan Nyi Roro, yang bernama Ki Dhiwut Merapi. Disebut "dhiwut", konon karena tokoh ini memiliki badan seperti raksasa dan berbulu lebat seperti kera. Dialah yang dianggap penjaga gunung berapi itu, agar kalau "marah" tidak memuntahkan laharnya ke arah selatan. Ki Dhiwut – menurut cerita tutur – adalah bayangkara setia kerajaan Mataram (Catatan : Pada zaman Jepang, penguasa Jepang merekayasa “lampor” untuk keperluan perang. Lampor sengaja diciptakan untuk mengelabui rakyat saat tentara Jepang mengangkut logistik atau barang lainnya sehingga tidak diketahui oleh masyarakat. Di zaman moderen saat ini, peristiwa lampor sudah tidak dijumpai lagi).
  • Para raja Yogya dan Solo, sampai sekarang satu kali setiap tahun, tetap melestarikan adat "labuhan" dalam bulan Sura, yaitu bulan pertama di dalam penanggalan Jawa. Dalam upacara tersebut, para raja mengirim sesaji dan benda-benda untuk dikorbankan ke Laut Selatan, sebagai persembahan bagi Nyi Roro Kidul. Upacara ini juga diselenggarakan setiap tahun saat raja di Keraton Yogyakarta berulang tahun.
  • Di Keraton Yogyakarta setiap tahun saat ulang tahun raja, diselenggarakan upacara di mana di dalamnya ada tarian Bedaya Lambangsari dan Bedaya Semang yang dipergelarkan untuk menghormati Nyi Roro Kidul. Sementara di Keraton Surakarta, tarian dengan maksud serupa, disebut Bedaya Ketawang, juga dipergelarkan setiap tahun saat raja memperingati hari penobatannya. Dalam tarian Bedaya Ketawang tersebut, sembilan orang penari – yang sebelumnya berpuasa dan tidak boleh dalam keadaan haid- mengenakan pakaian tradisional pengantin Jawa. Para penari seolah-olah mengundang Ratu Kidul untuk datang dan menikahi susuhunan (raja). Menurut kepercayaan, sang Ratu Kidul memang secara gaib muncul dalam wujud penari kesepuluh yang nampak berkilauan.
  • Di komplek Taman Sari (Istana di Bawah Air), sekitar 1 km sebelah barat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, terdapat bangunan yang dinamakan Sumur Gumuling. Tempat ini diyakini sebagai lokasi pertemuan antara Sultan Yogyakarta dengan Ratu Pantai Selatan (Kanjeng Ratu Nyi Roro Kidul).

Peristiwa atau kejadian yang disebutkan di atas tidak lepas dari mitos mengenai asal muasal dan peranan Nyi Roro Kidul. Menurut legenda masyarakat Jawa Barat (Jabar), konon di Tatar Sunda pernah hidup seorang wanita bernama Puteri Kandita atau Dewi Srengenge. Ia adalah puteri Raja Pajajaran, Prabu Munding Wangi yang dikenal sakti. Sebagai raja, tentunya Prabu Munding Wangi memiliki banyak selir.

Konon, keberadaan banyak selir itulah yang membuat hidup Puteri Kandita menjadi menderita. Ia terpaksa ke luar dari istana ayahnya setelah wajahnya yang semula cantik menjadi buruk terkena guna-guna seorang selir bernama Dewi Mutiara. Hidup Puteri Kandita menjadi terlunta-lunta dan akhirnya terdampar di pantai selatan di Pelabuhan Ratu. Dalam kesedihannya itulah sang puteri bersemedi. Dalam semedinya ini, Puteri Kandita mendapat petunjuk gaib agar mandi di laut untuk mengobati wajahnya yang buruk.

Petunjuk itu dia kerjakan dan memang benar selagi mandi wajahnya menjadi cantik namun pada saat bersamaan pula iapun hilang ditelan gelombang air laut. Sejak itulah ia dipercayai sebagai ratu penguasa pantai selatan yang berjuluk Nyi Roro Kidul.

Sementara itu menurut babad yang menceritakan asal Kerajaan Mataram, tersebutlah kisah tentang seorang laki-laki yang bernama Danang Sutawijaya alias Mas Ngabehi Lor ing Pasar. Ia adalah putera angkat terkasih Sultan Pajang Adiwijaya (1546-1587M) yang berhasil menundukkan pemberontakan Adipati Jipang Panolan, Aria Panangsang.

Atas jasanya ini, Sultan Pajang memberikan hadiah sebidang tanah luas, berupa kawasan hutan yang disebut Hutan Mentaok. Kawasan hutan ini setelah dibuka dinamai Bumi Mataram yang kelak menjadi pusat Kerajaan Mataram.

Sebelum Hutan Mentaok dibuka, menurut babad tersebut, di situ telah berdiri suatu kerajaan yang tunduk kepada Majapahit. Kerajaan itu memang sebelumnya sudah bernama Mataram. Di masa senja Majapahit, singgasana keraton Mataram ini diduduki seorang ratu, yang bergelar Lara Kidul Dewi Nawangwulan. Disebutkan di situ bahwa Lara Kidul lahir dari dinasti Buda Kalacakra (Tantrayana), yakni anak dari Maharani Suhita dengan suaminya yang bernama Aji Ratna Pangkaja, raja Tanah Malayu. Kalau menurut dongeng, Lara Kidul Dewi Nawangwulan sebenarnya bukan anak perempuan Suhita. Ia adalah salah satu dari tujuh bidadari yang tidak bisa mengangkasa kembali gara-gara busananya dicuri dan disembunyikan di lumbung padi oleh Bondan Kejawan ketika mereka sedang asyik mandi di sebuah telaga.

Lara Kidul Dewi Nawangwulan menjadi menantu Hyang Purwawisesa/Bre Wengker, raja Majapahit (1456-1466), karena dijodohkan dengan Raden Bondan Kejawan alias Kidang Telangkas, putera hasil perkawinan Hyang Purwawisesa dengan Wandan Bodricemara.

Ratu Mataram berikutnya ialah Dewi Nawangsih, puteri Lara idul Dewi Nawangwulan dengan Bondan Kejawan. Penerus Nawangsih berikutnya adalah Ni Mas Ratu Angin Angin, yang kelak dimitoskan dan diberi gelar sebagai Nyai Lara Kidul.

Atas kehendak Sultan Adiwijaya, Ni Mas Ratu Angin-angin – yang dalam tubuhnya mengalir darah Majapahit - dikawinkan dengan Mas Danang Sutawijaya karena Adiwijaya mengharap agar Sutawijaya dan keturunannya kelak dapat menjadi penerus Pajang, yang kuat mengemban "Wahyu Majapahit". Sementara itu anaknya sendiri, Pangeran Banawa, hanya diangkat menjadi Adipati di Jipang Panolan, menggantikan Aria Penangsang yang telah tewas dalam perang melawan Sutawijaya.

Dalam babad dari versi lain yang juga menceritakan asal-muasal Kerajaan Mataram dikisahkan bahwa ada seorang pangeran dari Kerajaan Pajajaran, Joko Suruh, bertemu dengan seorang wanita pertapa yang cantik bernama Ratna Suwida. Pertapa - yang menjadi penguasa spiritual di pantai selatan Jawa karena sejak muda mengasingkan diri untuk mendapatkan kelebihan lahir dan batin - tersebut memerintahkan agar dia menemukan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Dalam pertemuan itu Joko Suruh jatuh cinta kepadanya. Tapi sang pertapa, yang ternyata adalah bibinya sendiri, menolak cintanya namun berjanji bahwa ia akan menikahi secara bergantian seluruh keturunan Joko Suruh yang menjadi penguasa di kerajaan yang terletak di dekat Gunung Merapi.

Sementara itu ada cerita rakyat versi lain. Di situ dikisahkan bahwa suatu saat Panembahan Senopati, raja Mataram, mengasingkan diri ke Pantai Selatan. Tujuannya adalah untuk mengumpulkan seluruh kekuatannya dalam upaya mempersiapkan diri melawan kerajaan-kerajaan di bagian utara Pulau Jawa.

Meditasi Sang Panembahan rupanya menarik perhatian Nyi Roro Kidul yang selanjutnya berjanji untuk membantunya. Selama tiga hari dan tiga malam, Panembahan Senopati mempelajari rahasia perang dan pemerintahan, disamping bercinta di istana bawah airnya, hingga akhirnya muncul di Pantai Parangkusumo, di selatan Yogyakarta.

Sejak saat itu, Ratu Kidul dianggap mulai berhubungan erat dengan Senopati dan keturunannya yang berkuasa. Mungkin karena itu maka di Parangkusumo setiap tahun selalu ada sesajian yang dipersembahkan oleh keturunan Senopati yang berkuasa melalui perwakilan istana Solo dan Yogyakarta.

Demikianlah kisah Nyi Roro Kidul dengan berbagai versinya. Dampaknya besar dan masih terasa di masyarakat hingga saat ini. Masyarakat menanggapinya antara tahyul dan logika, antara syirik dan iman. Tetapi hikmah yang dapat dipetik dari kisah atau mitos Nyi Roro Kidul dan dampaknya di masyarakat antara lain adalah:

  • Percaya atau tidak percaya tetapi fakta telah membuktikan, bahwa kepercayaan tentang Nyi Roro Kidul telah ada di masyarakat sejak lama. Ia dikisahkan sebagai mantan manusia yang berjenis kelamin wanita dan karena suatu sebab (mungkin karena penderitaan yang menyebabkannya bertapa) kemudian menjadi makhluk gaib yang perkasa (mempunyai kekuatan) supranatural. Sebagai makhluk halus, banyak orang percaya bahwa dia pernah dinikahi oleh manusia. Namun iapun juga ditakuti, dimintai bantuan dan mungkin pula disembah karena banyak orang seolah-olah terdorong untuk mengikuti berbagai hal yang seringkali sulit dimengerti oleh akal yang apabila tidak dilakukan / dipenuhi akan menyebabkan keresahan (ketidaktenangan).
  • Makhluk yang tidak terlihat, menurut agama, ada beberapa jenis, yakni malaikat, iblis, syaitan dan jin. Makhluk-makhluk itu masing-masing mempunyai kemampuan dan tugas yang berbeda. Di antaranya ada yang baik bahkan ada yang ditugasi membantu manusia. Setelah memahami tugas dan kemampuan para makhluk non manusia itu maka sampailah kita pada pertanyaan apakah Nyi Roro Kidul itu termasuk jenis makhluk yang mana ? Tentunya masing-masing mempunyai pendapat yang berbeda.
  • Cerita atau mitos tentang Nyi Roro Kidul boleh dikatakan membawa dampak. Di samping dapat dipakai untuk membedakan manusia yang percaya atau tidak, juga membuka lapangan kerja, terutama di bidang wisata. Berbagai acara yang berkaitan dengan Nyi Roro Kidul banyak menarik kehadiran wisatawan, yang tentunya menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat setempat.

Sastrawan Batangan, Januari 2008/Oktober 2010

Referensi :

  • Heddi Suhaedi, 2002. Misteri Nyai Roro Kidul, Daya Tarik Wisata Pelabuhan Ratu dalam Kompas, Kamis, 25 Juli 2002.
  • G.J. Resink, 1996. Tulisan tentang Nyi Roro Kidul (judulnya tidak jelas) yang dipaparkan di Yogya 1911 dan Jakarta 1996. Artikel ini ditulis dan diterbitkan di "Kompas Minggu" tahun 1982.